Sejarah masa demokrasi liberal, Kabinet Ali 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Demokrasi
liberal merupakan salah satu bukti kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Tahun
1950-1959 ialah tahun yang dijadikan sebagai salah satu perkembangan demokrasi
di Indonesia. Walaupun pada saat itu masih banyak permasalahan-permasalahan
yang di tempuh oleh republik ini dalam menjalankan pemerintahan, baik itu
kendala dalam negeri atau bahkan luar negeri. Masalah ekonomi dan sosial yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia setelah kependudukan Jepang dan revolusi sangat
besar, instalasi dan industri rusak berat.
Masa
Demokrasi Liberal telah dirintis sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah
tanggal 16 Oktober 1945 tentang perubahan status KNIP dan Maklumat tanggal 3
November 1945 tentang pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Demokrasi
Liberal ditandai dengan Indonesia memakai system parlementer. Pada masa
tersebut terjadi beberapa kali pergantian kabinet.
Sistem
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan
penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan,
yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan
sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden
dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan.
Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun
dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Setelah
dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer yang
Liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat, dan masa ini disebut Masa
demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi
dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Pemerintahan RI
dijalankan oleh suatu dewan mentri ( kabinet ) yang dipimpin oleh seorang perdana
menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen ( DPR ).
Sistem
politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya
partai-partai politik, karena dalam system kepartaian maenganut system multi
partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan system politik demokrasi liberal
parlementer gaya barat dengan system multi partai yang dianut, maka
partai-partai inilah, yang menjalankan pemerintahan melalui
perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959, PNI dan Masyumi
merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun (1950 -1955)
PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet. Adapun
susunan kabinet yang menjalankan roda pemerintahan pada masa demokrasi liberal.
Kabinet
indonesia era demokrasi liberal ( 1950 - 1959 ). Pada masa demokrasi liberal,
terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkansituasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini, antara lain:
1. 1950-1951 -
Kabinet Natsir
2.
1951-1952 - Kabinet Sukiman
3.
1952-1953 - Kabinet Wilopo
4.
1953-1955 - Kabinet Ali
Sastroamidjojo I
5.
1955-1956 - Kabinet Burhanuddin
Harahap.
6.
1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo
II
7.
1957-1959 – Kbinet Djuanda
Namun dalam makalah ini akan lebih mendalami mengenai
salah satu kabinet yang pernah ada di Indonesia pada masa demokrasi liberal,
dengan tujuan untuk lebih mengenal salah satu jenis kabinet yakni Kabinet Ali
Satroamijoyo I yang berlangsung tahun 1953-1955.
1.2
Rumusan
Masalah
1) Bagaimana
sosok Ali Sastroamijoyo (dalam kabinet Ali I/ yang dikenal dengan nama kabinet
Ali-Wongso?
2) Apa
saja jenis program kerja yang digerakkan didalam kabinet Ali I?
3) Bagaimana
masalah-masalah yang dihadapi dimasa kabinet Ali I?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Sosok
Ali Sastroamijoyo (Dalam Kabinet Ali I/ Yang Dikenal Dengan Nama Kabinet Ali-Wongso
Ali
Sastroamidjojo merupakan pria kelahiran Grabag, Magelang, 21 Mei 1903, ia merupakan
anak kesebelas dari dua belas bersaudara. Keluarga dari Ali masih merupakan
golongan Priyayi di Magelang. Ayah dari Ali Sastro yang bernama R. Ng.
Sastroamidjojo pernah menjadi Wedana di Jetis, Temanggung. Sedangkan ibunya
bernama Kustiah, ibunya sangat gigih dalam mempertahankan adat jawa. Ali
mendapatkan pendidikan Bahasa Belanda di Wesrendorp untuk dapat diterima di ELS
kelas nomor dua. Ia hanya bertahan satu tahun karena selalu diejek oleh
anak-anak Belanda. Kemudian ayahnya memindahkannya di Kelas satu, tetapi hal
tersebut ditolak dengan alasan Ali yang tidak terlalu pandai berbahasa Belanda.
Ayahnya tetap mengusahakan kepindahan Ali, akhirnya dengan memanfaatkan
kdudukan Bupati Magelang yang merupakan keluarga dekat dari ibunya dan kemudian
Ali diterima di ELS Nomor Satu dengan
syarat akan meneruskan pendidikannnya ke sekolah kedokteran di Jakarta.
Ali Sastro
merupakan seorang tokoh politik,pemerintahan, dan nasionalis. Pendidikan yang
pernah ditempuh oleh Ali adalah sarjana hukum ( Meester in de Rechten) dari Universitas Leiden Belanda pada tahun
1927. Semasa bersekolah, Ali Sastro
aktif dalam berorganisasi pemuda, seperti halnya organisasi Jong Java
(1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia ( 1923-1928). Ia pernah mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia di Paris pada tahun 1926 pada Kongres Interantional
Demokratik Perdamainandan di Belgia tahun 1927 dalam Liga anti Imperialisme dan
Penindasan Kolonial. Tujuannya agar masyarakat dunia mengetahui betapa
menderitanya rakyat Indonesia dibawah penjajahan Belanda. Karena aktivitasnya
dalam organisasi, ia pada tahun tersebut ditahan oleh polisi Belanda bersama
dengan Mohammad Hatta, Natzir Dt. Pauncak, Abdulmajid dengan tuduhan menghasut
orang-orang agar memberontak terhadap pemerintah. Kemudian pada tanggal 22
Maret 1928 ia dan teman-temannya dibebaskan kemudian bersama dengan Mr.
Soejoedi membuka kantor pengacara, dan bersama dr. Soekiman, menerbitkan
majalah Djanget di Surakarta. Akan
tetapi, ketertarikannya pada pergerakan dan pada rakyat membuatnya meninggalkan
pekerjaan tersebut.
Tahun 1927 Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno menjelma sebagai
organisasi massa yang revolusioner. Ali Sastro pun akhirnya memilih bergabung
dalam PNI dan menjadi kepala cabang di Kota Solo. Tahun 1929 Soekarno ditahan
di penjara Sukamiskin, hal tersebut membuat PNI dinyatakan sebagai organisasi
yang dilarang dan dibubarkan. Hal tersebut membuat beberapa pemimpin PNI goyah
dan akhinya sepakat untuk membentuk Partindo ( Partai Indonesia), Ali Sastro
juga bergabung dalam partai ini. Ali juga sempat bergabung dengan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo).
Setelah perang
dunia II usai, ia meneruskan aktivitasnya di lapangan politik dan pemerintahan.
Sosok Ali Sastro masih menjadi tokoh penting di dalam pemerintahan republik
yang baru. Soekarno sempat menunjukknya sebagai Wakil Menteri Penerangan
Kabinet Presidental (19 Agustus 1945-14 Agustus 1945), kemudian saat kabinet
Amir Sjarifudin I (3 Juli 1947- 11 November 1947) dan Amir Sjarifudin II (11
November 1947-29 Januari 1948), Ali ditunjuk sebaga Menteri Pengajaran. Dimasa
jabatannya, ia membentuk Panitia perancang UU pokok pendidikan dan pengajaran. Tugasnya adalah untuk menyusun
Rencana Undang-Undang pokok pendidikan dan pengajaran yang kelak menjadi
pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Rancangan
Undang-Undang tersebut dianggap progresif pada masanya. Akan tetapi rencana
tersebut tidak dapat berjalan karena terjadi Agresi Militer Belanda kedua pada
19 Desember 1948. Setelah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta pada 6
Agustus 1949, Rencana Undang-undang tersebut diajukan kembali ke KNIP oleh
Menteri Pendidikan Pengajaran dan kebudayaan yang baru yaitu Ki Sarmidi
Mangunsarkoro yang menggantikannya.
Karir Ali Sastro
berlanjut antara lain menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Hatta I
(29 Januari 1948-4 Agustus 1949). Wakil ketua MPRS Kabinet kerja III (6 Maret
1962-13 Desember 1963). Wakil ketua MPRS Kabinet kerja IV (13 November 1963-27
Agustus 1964). Wakil ketua MPRS Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964- 22 Februari
1966). Wakil ketua MPRS Kabinet Dwikora II (22 Februari 1966- 28 Maret 1966).
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955). Dan yang
terakhir Perdana Menteri Ali Sastroamijdojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957).
Ali Sastro
ditunjuk sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan
dengan Belanda pada Februari 1948 dan juga menjadi anggota delegasi Republik
Indonesia dengan Belanda dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dia diangkat menjadi Duta Besar
Republik Indonesia di Amerika Serikat,Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Saat
menjadi Duta Besar Ia ditunjuk untuk menyampaikan surat-surat kepercayaan
kepada pemerintah Amerika Serikat. Sebelum menyampaikan surat Ia ingin
berpidato dihadapan presiden Amerika Serikat saat itu yaitu Presiden Truman,
akan tetapi permohonan tersebut ditolak dan hal tersebut membuat Ali
berkaca-kaca. Selain itu, Ali juga menjabat sebagai keyua umum Konferensi Asia
Afrikad Bandung pada tahun 1955 dan wakil tetap Indonesia di Perserikatan
Bangsa-Bangsa periode 1957-1960.
Krisis politik
pada tahun 1953 berpotensi meretakkan Republik Indonesia. Ali Sastro ditunjuk
sebagai Perdana Menteri. Orang-orang pada saat itu beranggapan bahwa kabinet
Ali tersebut merupakan Kabinet Kiri. Anggapan tersebut muncul dikarenakan PSI
dan Masyumi ditendang keluar sedangkan PKI dan NU ditarik masuk. Ali memulai
politik Indonesia Bebas Aktif . Politik luar negeri yang semakin meluas ke
negeri-negeri sosialis 1953, Indonesia mengirrim Dubes ke Peking, Tiongkok. Dan
selanjutnya pada tahun 1954 Indonesia juga membuka Dubes di Moskow, USSR.
September 1963,
PNI menggelar kongres ke-X di Purwokerto, Jawa Tengah. Saat itu, Ali
Sastroamidjojo dan Surachman terpilih menjadi pemipin PNI. Kongres juga
menyetujui pembentukan front Marhaenis untuk memastikan kepemimpinan politik
terhadap gerakan massa marhaen. Jadi ada yang menyebutnya PNI/Front Marhaenis.
Ali Sastroamidjojo yang terlihat telah terlibat di PNI sejak tahun 1928,
berusaha menegaskan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam
konteks Indonesia. Pada pidato peringatan HUT PNI ke-36, 7 juli 1963, Ali
menegaskan bahwa marhaenisme adalah doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam
konteks Indonesia.
Ali Sastroamidjojo
yang ditawan oleh orde baru, dengan adanya perubahan ideology yang terjadi
sampai orde baru. Ali tetap menyebut dirinya sebagai nasionalis sekaligus
marhaenis pengikut Soekarno. Maret 1975 Ali Sastroamidjojo meninggal dan
dimakamkan di TMP Kalibata.
1.2
Program
Kerja Yang Digerakkan Didalam Kabinet Ali I
Kabinet
Ali Sastroamidjojo I, sering disebut Kabinet Ali-Wongso atauKabinet
Ali-Wongso-Arifin, memerintah pada periode 30 Juli 1953 - 12Agustus 1955.
Susunan
kabinet (Masa bakti : 30 Juli
1953-12 Agustus
1955)
No |
Jabatan |
Nama Menteri |
1 |
||
2 |
||
3 |
||
4 |
||
5 |
||
6 |
||
7 |
||
8 |
||
9 |
||
Menteri
Muda Perhubungan |
||
10 |
||
11 |
||
12 |
||
13 |
||
14 |
||
15 |
FL Tobing |
|
16 |
||
17 |
Sudibjo
|
|
Mohammad Hanafiah |
Setelah mundurnya Kabinet Wilopo,
terbentuk kabinet baru, yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini merupakan
koalisi antara PNI dan NU. Sedangkan, Masyumi menjadi partai oposisi.
Program – program Kabinet Ali Sastroamidjojo I, yaitu
:
- Meningkatkan
keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan
kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian
Pertikaian politik
Hasil :
- Persiapan
Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan
pada 29 September 1955.
- Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun
1955.
Program Kerja
·
Menjaga Keamanan.
Menjaga keamanan
merupakan bagian dari program kerja Kabinet Ali 1. Hal ini karena Kabinet Ali
berani mengambil alih pemerintahan setelah kabinet sebelumnya runtuh. Adanya
tanggungjawab kabinet ini yang kemudian akan dilaporkan terhadap DPR tentunya
akan memuat suatu solusi untuk meredam ketidakstabilan Negara saat itu. Pada
masa kabinet sebelumnya telah terjadi berbagai goncangan keamanan. Misalnya
saja perpecahan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, perselisihan yang
terjadi dikalangan militer, Bahkan pembunuhan yang dilakukan kepolisian
terhadap lima petani di dekat Medan (Ricklefs: 1998, 367-368, 369-370). Saat
itu Kabinet Ali mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan dari kota kota
yang penting. Adapun keadaan ini membuat stabilitas yang dijalankan
pemerintahan terganggu, selain itu juga terdapat berbagai pemberontakan di
daerah-daerah. Sehingga pada Kabinet Ali 1 ini, pemerintah berupaya untuk menjaga
keamanan dan memulihkan.
·
Menciptakan Kemakmuran
& Kesejahteraan Rakyat.
Adanya
Perang Korea antara Februari 1952- Maret 1952 memberikan dampak malasnya
perekonomian Indonesia. Hal ini karena ekspor karet nasional Indonesia menjadi
turun 71%. Adanya upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan pada kabinet
sebelum Kabinet Ali tidak berhasil. Apalagi solusi ekonomi yang dilakukan
pemerintahan sebelumnya justru berdampak memperkeruh ketidakstabilan politik
dan keamanan. (Ricklefs: 1998, 367-368). Pada tahun 1952-1953 terjadi inflasi
di Indonesia. Sehingga nilai tukar rupiah turun menjadi 44,7 % dari nilai resmi
menjadi 24,6 %. Pada masa Kabinet ini persediaan uang meningkat 75%, Hal ini
akhirnya menyebabkan eksportir diluar Pulau Jawa yang terdiri atas orang-orang
Masyumi terkena imbas dan mengalami dampak buruk pada kegiatan ekonominya (kerugian).
(Ricklefs: 1998, 371). Dari adanya situasi ini menyebabkan penyelundupan
semakin meningkat (tidak hanya orang miskin yang terlibat penyelundupan, tapi
juga tentara-tentara). (Ricklefs: 1998, 371). Keadaan ini semakin menambah
kemiskinan bangsa Indonesia. Rakyat saat itu hidup dalam kelaparan dan jauh
dari kesejahteraan. Maka dari itu pada masa Kabinet Ali program kerjanya juga
berupaya untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. (Kahin, 2005:212).
Adapun wujud dari upaya tersebut dengan Menekankan pengindonesiasian terhadap
perekonomian dan memberi dorongan kepada pengusaha pribumi.
·
Menyelenggarakan Pemilu
Dengan
memasuki babak demokrasi liberal, maka sistem Pemerintahan Indonesia menjalani
sistem yang sebelumnya diterapkan oleh Belanda. Dimana imperialism kemudian
mengenalkan Indonesia pada struktur atau susunan pemerintahan yang masuk ke
dalam jenis parlementer. Sebagai kabinet yang memimpin pemerintahan, maka
Kabinet Ali menyanggupi inti dari pemerintahan Indonesia yang bersifat
parlementer tersebut. Dalam hal ini, Kabinet Ali mengupayakan penyelenggaraan
Pemilu. (Turnan, 1995: 221). Pada tanggal 31 Mei 1954 Kabinet Ali membentuk
Panitia Pemilu Pusat yang diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Selanjutnya Pada 16
April 1955 Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilu akan diadakan pada tanggal 29
September 1955. Hal ini lah kemudian membuat berbagai kampanye yang diadakan
menjadi meningkat. Adapun kampanye diadakan sampai pelosok desa. (Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Notosusanto, 1993: 526). Adapun pemilu merupakan program
kerja yang utama dalam kabinet ini. (Turnan, 1995: 208).
·
Pembebasan Irian Barat
secepatnya
Kemerdekaan
Indonesia, menuntut kabinet ini untuk tidak menyetujui adanya RIS. Hal ini
karena pemerintahan yang ada saat itu ingin berdaulat dalam menjalankan
kehidupan bernegara. Maka dari itu, pada tanggal Agustus 1954 Kabinet Ali
memuat usul mengenai penghapusan Uni Belanda- Indonesia (sesuatu yang kecil)
dan beberapa penyesuaian atas hasil KMB , namun hal ini tidak mencapai
kemajuan. Adanya masalah pembebasan Irian yang tidak memuat hasil membuat
Kabinet Ali saat itu mengajukan masalah ini ke PBB, dan dalam bulan yang sama
pengaduan tersebut tidak diterima. (Ricklefs: 1998, 371).
·
Melaksanaan politik
bebas-aktif
Adanya
bipolarisasi dan politik konstelasi dunia membuat Indonesia tidak ingin
terlibat didalamnya. Apalagi Indonesia sendiri merupakan Negara yang baru
merdeka, bahkan dalam menata negaranya, Indonesia masih belum tentu arah.
(Turnan, 1995: 43). Apalagi kemerdekaan Indonesia masih belum diakui oleh
Belanda. Adanya ancaman kedatangan Belanda maupun Jepang bisa kapan saja
menghampiri Indonesia. Maka dari itu pada masa Kabinet Ali ini menetapkan
Indonesia untuk menjalankan Politik Bebas-Aktif. Adapun bebas disini terwujud
dengan sifat tidak memihak Indonesia terhadap pertikaian dunia. Misalnya pada
ketegangan antara Amerika dan RRC saat itu. Sedangkan aktif disini ditujukan
pada perjuangan untuk membebaskan Irian dari Belanda. Indonesia ingin berperan
aktif dalam menyuarakan anspirasinya pada dunia. Hal ini yang kemudian akan
diwujudkan dengan pelaksanaan KAA 1955 yang mengikutsertakan Indonesia dalam
menggalang perdamaian Asia-Afro. Program ini sangat didukung Soekarno.
·
Menyelesaikan Pertikaian
politik
Telah
diketahui bahwa keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil pada masa itu.
Perpecahan terjadi dikalangan elite politik. Tahta, jabatan, dan kekuasaan
membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kehidupan bernegara. Salah satu
perpecahan yang ada terlihat dengan keluarnya NU dari Masyumi. Adapu hal ini
dikarenakan adanya kesenjangan dalam perebutan jabatan Menteri Agama.
(Ricklefs: 1998, 368). Selain itu ketidakharmonisan juga terlihat dalam
hubungan PNI dan PSI. adanya aksi tuding menuding semakin gencar diarahkan satu
sama lain. (Ricklefs: 1998, 369). Tidak hanya pada dunia politii, tapi juga
dikalangan militer dan sebagainya terjadi kesenjagan yang tidak layak. Dan pada
bulan Januari Hamengkubuwana IX mengundurkan diri dari Jabatan Menteri
Pertahanan. Hal ini adalah wujud dari adanya pertikaian politik. (Ricklefs:
1998, 369). Pada masa Kabinet Ali, masalah demikian merupakan bagian dari
kegiatan kerja kabinet.
1.3
Masalah-Masalah
Yang Dihadapi Dimasa Kabinet Ali I
Pada
kebinet Ali Sastoamidjoyo 1 ini bisa dikatakan bahwa kabinet yang bisa menmbuat
program kerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan kabinet-kabinet
sebelumnya, karena kabinet-kabinet sebelum Ali sastroamidjoyo hanya bertahan
selama beberapa bulan saja, sedangkan kabinet Ali bertahan hingga 2 tahun
meskipun sempat mundul tetapi kembali lagi dengan kabinet baru yaitu Ali
Sastroamidjoyo II. Saat kabinet Ali ini terbentuk banyak sekali
prestasi-prestasi yang dicapainya, tetapi ada pula masalah-masalah yang tidak
bisa diselesaikan antara lain pemberontakan DI/TII yang di prakarsai oleh
Kartosuwirjo pada tahun 1948. Masalah ini dari kabinet natsir hingga Ali II
belum terselesaikan, masalah ini bisa diredakan sekitar tahun 1965.
Pada
awal pemerintahan kabinet Ali I langsung dihadapkan oleh situasi yang mengancam
Republik, yaitu pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh
pada September 1953. Demikian pula dengan perlawanan DI/TII di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan selatan yang kembali gencar. Suasana ini dapat
dimaklumi bahwa sebagian golongan Islam tidak puas dengan keberadaan Ali yang
didominasi kelompok nasionalis, apalagi golongan Islam melihat bahwa paru
pertama kali pihak Masyumi tidak terwakili didalam kabinet Ali I, sebelumnya
Masyumi selalu ikut duduk dan dominan dalam kabinet. Hal ini membuat kecewa yang
sempat menimbulkan perbedaan strategi perjuangan di dalam Masyumi sendiri
(Hariyono, 2007: 40-41).
Pada
masa Ali I memang kabinet-kabinet yang memimpin berasal dari partai PNI, NU,
PIR, PSI, Parindra dan lainnya kecuali Masyumi, hal ini terjadi karena pada
awalnya muncul wacana agar dipilih orang non partai dan mempunyai pengaruh kuat
sehingga tercapai kestabilan politik yaitu Moch. Hatta. Pihak PNI setuju dengan
penunjukan Hatta sebgai formatur dengan syarat berkenan untuk mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden, teapi pihak masyumi tidak setuju jika Hatta harus
mengundurkan diri dari Wakil Presiden, pada tahun 1953 Presiden sukarno
menunjuk beberapa orang dari partai lain untuk menjadi formatur tetapi tetap
tidak berhasil dan selalu mengembalikan mandatnya kepada Persiden, akhirnya
menunjuk Wongsonegoro dari PIR untuk menjadi formatur, saat itu PIR dianggap
sebagi partai kecil yang dianggap tidak memiliki kekuatan cukup untuk menyusun
kabinet, ternyata Wongsonegoro berhasil membuat kabinet dengan menunjuk Ali
Sastroamidjoyo untuk menjadi perdana menteri dengan meninggalkan Masyumi dan
mendekati PNI, NU, PIR untuk menyusun kabinet. Hal ini membuat gencar kembali
DI/TII di sejumlah daerah di Indonesia (Hariyono, 2007: 38-39).
Permasalahan awal dari pemberontakan DI/TII ini ketika Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Amir
Syarifudin ini membawa banyak kesulitan, terutama bagi pemerintah Republik
Indonesia. Mereka harus meninggalkan daerah-daerah
strategis yang dikuasainya yang kini harus dikosongkan karena termasuk
kekuasaan Belanda, terutama di Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur). Beberapa alasan Kartosoewirjo melakukan pemberontakan yaitu tidak menginginkan
Indonesia menjadi negara sekuler, dia ingin Indonesia berdiri dengan asas
Islam, selain itu dengan adanya perjanjian Renville yang dirasa Kartosoewirjo telah merugikan pihak Indonesia, oleh karena itu
kebijakan pemerintah tersebut memberi peluang bagi
Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo
merasa tidak perlu mematuhi perintah tersebut dan memilih bertahan.
Kartosoewirjo memerintahkan kepada seluruh aktivis Islam untuk tetap tinggal di
Jawa Barat. Menurut Poesponegoro (2010: 360) penolakannya terhadap Persetujuan
Renville diwujudkan dalam sikap menolak melaksanakan hijrah. Bersama dengan
pasukannya yang terdiri dari Hizbullah dan Sabilillah sebanyak 4.000 orang, ia
tetap tinggal di Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII
adalah bentuk ketidakpuasaan politik para pemimpin Islam seperti Kartosoewirjo,
Kahar Muzakar yang kecewa karena Indonesia tidak dilandasi oleh syariat Islam.
Ketidakpuasan ini berlanjut dengan munculnya pemberontakan DI/TII di beberapa
daerah, antara lain, Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan (Djafar, 2008:202).
Pada pertengahan Februari 1948 Kartosoewirjo secara resmi mendirikan Tentara Islam
Indonesia (TII) di Jawa Barat yang
dibentuk dengan tujuan untuk memberontak. Keinginan memberontak dirasa Kartosoewirjo sangat kuat ketika ada Perjanjian Roem-Royen
antara RI dan Belanda. Perjanjian tersebut sangat merugikan Indonesia, Kartosoewirjo menganggap bahwa pihak RI telah menjual negara. Kartosoewirjo juga menganggap bahwa pemerintahan Soekarno
tidak konsisten dan menganggap pemerintah pusat tidak amanah dalam berpolitik.
Dengan tekad yang bulat maka pada tanggal 7 Agustus 1949 maka Kartosoewirjo beserta pengikutnya memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia (NII) dengan Kartosoewirjo sebagai presidennya.
Permusuhan
antara RI dan DI semakin meningkat, Menurut Ruslan,dkk (2008:39) target operasi
dari gerakan DI/TII adalah pihak Republik. Berbagai upaya pemerintahan
Indonesia untuk mengajak Kartosoewirjo untuk kembali di RI tetapi tidak
direspon, apalagi ketika Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Teungku Daud
Beureueh di Aceh, Amir Fatah di Jawa Tengah dan Ibnu Hadjar di Kalimantan
Selatan menyatakan berpisah dengan RI dan ikut dalam bagian NII Kartosoewirjo
(Firmansyah, 2009:18-20)
Saat
kabinet Ali I mulai menjabat harus dihadapkan dengan situasi yang benar-benar
mengancam republik. Satu-persatu daerah di Indonesia ingin melepaskan diri dari
NKRI dan ikut dalam satuan NII bentukan Kartosuwirjo. Masalah keamanan yang
terjadi di Republik dan belum terselesaikan hingga pada saat kabinet Ali I
terjadi perluasan wilayah bukan hanya di Jawa barat tetapi juga di Sulawesi
Selatan, dan Aceh. Ketika kabinet Ali I gerakan ini dianggap sebagi hambatan
yang berpengaruh terhadap ketidakstabilan negara hal ini menjadi ancaman dan
ketidakstabilan Republik. Pemberontakan DI/TII yang ada di Sulawesi selatan
dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar yang merupakan seorang TRI (Tentara Republik
Indonesia) di Sulawesi yang pada akhirnya membentuk kesatuan berbasis kekuatan
dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan (Tim Narasi, 2009:9). Sakit hati Kahar
Muzakar ketika tuntutan ingin memasukan kesatuannya dalam TNI tetapi ditolak
oleh petinggi tentara pemerintahan yaitu Alex Kawilarang, Kawilarang pula yang
membubarkan pasukan KGSS (Komandan Gerilya Sulawesi Selatan) yang Kahar Muzakar
temasuk didalamnya. Reaksi Kawilarang ini yang menyebabkan Kahar Muzakar
mengundurkan didri dan memilih melarikan diri ke hutan dan melancarkan
pemberontakan hingga akhirnya Kartosuwirjo yang memimpin NII mengajak dia untuk
bergabung sebagai Panglima Tentara Islam Sulawesi selatan pada Januari 1952
dengan bernama Divisi hasanudin (Matanasi, 2011:61).
Gerakan
pemberontakan yang dilakukan kahar Muzakar tersebut dimulai dari perselisihan
tentang status militer dan tuntutan akan keadilan. Mulanya gerilyawan Sulawesi
Selatan menuntut agar mereka diterima dalam TNI sebagai sumbangan untuk
revolusi tetapi ditolak (Usman, 2010: 31). Perlawanan kahar Muzakar terhadap
pemeritah tergolong lama dibandingkan dengan pemberontakan yang melibatkan DI
lainnya. Namun lama-kelamaan gerakan militer pemberontakan Kahar Muzakar ini
mulai melemah, Kahar Muzakar yang mulai memberontak sejak tahun 1950 berhenti
melawan pada Februari 1965, pada blan itu pula Kahar Muzakar berhasil ditembak
mati oleh anggota pasukan tentara Divisi Siliwangi yang didatangkan dari Jawa
Barat ke sulawesi Selatan (Matanasi, 2011:62).
Untuk
menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ini pemerintah awalnya melakukan
jalan damai, namun jalan damai ini ditolak oleh Kartosoewirjo. Setelah usaha
secara damai itu gagal, TNI melancarkan operasi militer, yakni Operasi Merdeka.
Barulah pada tahun 1957 mulai terjadi titik balik setelah TNI menyusun rencana
operasi yang dikenal sebagai “Rencana Pokok 21” kemudian taktik ini berubah
menjadi Operasi Pagar Betis ini menggunakan konsepsi perang wilayah dalam
menumpas gerakan DI/TII Jawa Barat. (Ruslan,dkk. 2008:44)
Untuk
mengatasi pemberontakan DI/TII
Sulawesi Selatan oleh Kahar Muzakar, pemerintah melancarkan
operasi militer dengan mengirimkan pasukan dari Devisi Siliwangi. Pemberontakan
Kahar Muzakar cukup sulit untuk ditumpas, mengingat pasukan Kahar Muzakar
sangat mengenal medan pertempuran. Akhirnya pada bulan februari 1965 Kahar
Muzakar tewas dalam sebuah pertempuran. Pembrontakan benar-benar dapat ditumpas
pada Juli 1965.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Ali Sastroamidjojo
merupakan pria kelahiran Grabag, Magelang, 21 Mei 1903, ia merupakan anak
kesebelas dari dua belas bersaudara. Keluarga dari Ali masih merupakan golongan
Priyayi di Magelang. Ayah dari Ali Sastro yang bernama R. Ng. Sastroamidjojo
pernah menjadi Wedana di Jetis, Temanggung. Sedangkan ibunya bernama Kustiah,
ibunya sangat gigih dalam mempertahankan adat jawa. Ali mendapatkan pendidikan
Bahasa Belanda di Wesrendorp untuk dapat diterima di ELS kelas nomor dua.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I, sering disebut Kabinet
Ali-Wongso atauKabinet Ali-Wongso-Arifin, memerintah pada periode 30 Juli 1953
- 12Agustus 1955. Saat kabinet Ali I mulai
menjabat harus dihadapkan dengan situasi yang benar-benar mengancam republik.
Satu-persatu daerah di Indonesia ingin melepaskan diri dari NKRI dan ikut dalam
satuan NII bentukan Kartosuwirjo. Masalah keamanan yang terjadi di Republik dan
belum terselesaikan hingga pada saat kabinet Ali I terjadi perluasan wilayah
bukan hanya di Jawa barat tetapi juga di Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Ketika
kabinet Ali I gerakan ini dianggap sebagi hambatan yang berpengaruh terhadap
ketidakstabilan negara hal ini menjadi ancaman dan ketidakstabilan Republik.
Pemberontakan DI/TII yang ada di Sulawesi selatan dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar
yang merupakan seorang TRI (Tentara Republik Indonesia) di Sulawesi yang pada
akhirnya membentuk kesatuan berbasis kekuatan dalam gerakan DI/TII di Sulawesi
Selatan (Tim Narasi, 2009:9)
Daftar Rujukan
Djafar, T.B. Massa. 2008. “Pilkada
Dan Demokrasi Konsosiasional Di Aceh”. Jurnal
Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Volume 4/No.1/2008:
202-203.
Firmansyah, A. 2009. S.M. Kartosoewirjo: Biografi Singkat 1907-1962. Yogyakarta: Garasi.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi (Sumatra Barat dan Politik di
Indonesia) 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor
Matanasi, P. 2011. Prajurit-Prajurit Di Kiri Jalan.
Yogyakarta: Terompet Book. Dari Google Book, (Online), (http://books.google.co.id)
diakses 19 September 2014.
Poesponegoro, Marwati Djoened &
Nugroho Notosusanto (Ed.). 2010. Sejarah
Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai
Pustaka
Ricklefs. 1998. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ruslan, dkk. 2008. Mengapa Mereka
Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Tim Narasi. 2009. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi
Singkat 100 Tokoh paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20.
Yogyakarta: Penerbit Narasi. Dari
Google Book, (Online), (http://books.google.co.id) diakses
19 September 2014.
Turnan, George Mc. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Universitas Sebelas
Maret: Pustaka Sinar Harapan
Usman, S. 2010. Tragedi Patriot Dan Pemberontak Kahar Muzakkar. Jakarta: Penerbit
Narasi. Dari Google Book, (Online), (http://books.google.co.id) diakses
19 September 2014.
http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120218/ali-sastroamidjojo-nasionalis-hingga-akhir
hayatnya.html#ixzz2VRlz5ftp
Tidak ada komentar: