KONDISI KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN BARAT
Abstrak: jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani (1453) mengakibatkan hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia Barat (Timur Tengah) terputus. Hal ini mendorong orang- orang Eropa mencari jalan sendiri ke dunia Timur untuk mendapatkan rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan. Melalui penjelajahan samudra, akhirnya bangsa-bangsa Barat berhasil mencapai Indonesia. Hal tersebut menjadi awal munculnya kolonialisme di Indonesia. Kedatangan Spanyol dan Portugis menjadi awal monopoli perdagangan rempah-rempah, kemudian dilanjutkan oleh VOC. Kemudian mulai muncul kolonialisme barat di Indonesia. Seperti Prancis, Inggris dan Belanda. Pada umumnya, Kolonialisme tersebut membawa banyak dampak negatif bagi rakyat Indonesia.
Kata Kunci: Penjajahan Barat, VOC, Liberal
Pada permulaan abad Pertengahan, orang-orang Eropa sudah mengenal hasil bumi dari dunia Timur, terutama rempah-rempah dari Indonesia. Dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani (1453) mengakibatkan hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia Barat (Timur Tengah) terputus. Hal ini mendorong orang- orang Eropa mencari jalan sendiri ke dunia Timur untuk mendapatkan rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan. Melalui penjelajahan samudra, akhirnya bangsa-bangsa Barat berhasil mencapai Indonesia. Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia pada mulanya lewat kongsi-kongsi perdagangan. Kongsi-kongsi perdagangan tersebut berusaha untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia melalui praktik monopoli.
Kedatangan orang-orang Eropa pertama di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pada abad XV bangsa Portugis merupakan salah satu bangsa yang mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Bangsa Portugis telah dapat membuat kapal-kapal yang lebih layak dan canggih di bandingkan dengan kapal-kapal sebelumnya memungkinkan mereka melakukan sebuah pelayaran dan melebarkan kekuasaaan ke seberang lautan. Dengan alasan untuk menguasai impor rempah-rempah di kawasan Eropa, bangsa Portugis mencari daerah kawasan penghasil rempah-rempah terbaik.
Cengkih dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah termasuk dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan Portugis ingin menguasai daerah Indonesia sekaligus menguasai pasaran Eropa. Hal tersebut menjadi awal masuknya kolonialisme di Indonesia.
Kolonialisme adalah penguasaan suatu wilayah dan rakyatnya oleh negara lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat militer atau ekonomi. Kolonialisme muncul pasca-Revormasi Industri yang sebagai akibat dari adanya hasrat untuk mencari sumber daya alam yang sebesar-besarnya yang digunakan sebagai bahan industri di kawasan Eropa. Bermulai dari kepentingan berdagang, bangsa-bangsa Eropa ini kemudian mulai menjajah daerah-daerah yang didatangi menjadi miliknya. Hal ini semakin jelas setelah Perjanjian Zaragosa antara Portugis dan Spanyol di sepakati dengan membagi dunia atas dua bagian yang menjadi milik mereka. Dalam perkembangannya muncullah Negara Eropa lain, seperti Inggris, Belanda, Perancis yang juga menjajah daerah-daerah yang mereka datangi sebagai Negara jajahannya. Inilah yang disebut kolonialisme.
Pada awalnya, Portugis berusaha menjalin hubungan dagang dengan Maluku. Pada tahun 1512 Alfonso d’ Alburquerque mengirimkan beberapa buah kapal ke Maluku dan berhasil mendarat di Ternate. Hubungan antara kerajaan dan masyarakat di kepulauan Indonesia dengan bangsa Eropa bersifat sejajar. Namun, perlahan-lahan muncullah ketidaksejajaran pada pertengahan abad ke-17. Ketidaksejajaran itu mulai ada dan semakin nyata sejak awal abad ke-18. Satu persatu sumber ekonomi dan kekuasaan politik wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh penguasa dan penduduk lokal, jatuh ke tangan bangsa barat, terutama Belanda. Masuknya bangsa barat ke Indonesia tersebut menyebabkan banyak dampak bagi Indonesia, terutama dalam bidang perekonomian.
A. PEMBAHASAN
Kondisi Ekonomi Masa Penjajahan Portugis
Kegiatan perdagangan yang pada mulanya hanya terbatas di Laut Tengah mulai berubah menjelang abad ke-15 ketika bangsa Portugis mulai mengembangkan teknologi maritim. Faktor penyebab Portugis mengadakan ekspansi ke arah Timur disebabkan oleh perjanjian Tordesilas oleh Paus Alexander VI di Roma. Mereka arungi samudra yang menuju ke arah Timur, mula-mula ditemukan Tanjung Harapan oleh Bartolomeus Diaz kemudian Vasco da Gama sampai Kalikut, India, dan Alfonso de Albuquerque sampai di Malaka.
Setelah Portugis berhasil menguasai Asia Tenggara khususnya Selat Malaka (1511), dari sinilah Portugis mengirimkan angkatan perangnya ke Maluku dipimpin oleh Antonio de Abreu. Mereka dapat memanfaatkan persaingan yang terjadi diantara penguasa setempat untuk memperkuat kedudukannya.
Misalnya ketika orang Portugis datang di Maluku, Hitu dan Seram sedang berselisih dan Portugis memihak Hitu. Di tempat lain kedatangan Portugis di Ternate diterima baik oleh penguasa setemapt karena Portugis dianggap sekutu dalam menghadapi kerajaan lainnya separti Tidore, maka sebagai imbalan Portugis menuntut hak monopoli perdagangan cengkeh. Akibat nafsu serakah Portugis dengan memaksa sistem monopoli menyebabkan timbulnya perlawanan dimana-mana di seluruh nusantara, khususnya di pusat-pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Islam yang berhadapan langsung dengan Portugis ialah Demak, Ternate, dan Aceh.
Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia mempunyai tiga tujuan sebagai berikut.
a) Tujuan ekonomi ,yaitu mencari keuntungan yang besar dari hasil perdagangan rempah-rempah. Memberi dengan harga murah di Maluku dan menjualnya dengan harga tinggi di Eropa.
b) Tujuan agama,yaitu menyebarkan agama Nasrani.
c) Tujuan petualangan, yaitu mencari daerah jajahan.
Tujuan tersebut lebih dikenal dengan gold, glory, gospel.
a) Gold, yaitu mencari emas dan kekayaan.
b) Glory, yaitu mencari keharuman nama, kejayaan, dan kekuasaan.
c) Gospel, yaitu tugas suci menyebarkan agama Kristen-Katolik.
Bangsa Portugis karena ingin mencapai tujuannya, segera melakukan serangkaian kegiatan penjelajahan. Di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque, ia bersama armadanya berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511. Selanjutnya, pada tahun 1512 Portugis sudah berhasil menguasai Ternate, yaitu dengan mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Ternate. Namun ternyata Spanyol sudah bersekutu dengan Kerajaan Tidore. Akhirnya mereka bermusuhan.
Portugis dan Spanyol memang sama-sama ingin menguasai dunia. Mereka sudah dua kali membuat kesepakatan, yang pertama tahun 1494 dengan perjanjian Thordesilas, dan yang kedua tahun 1526 denga perjanjian Saragosa.
Perjanjian Saragosa yang dipimpin oleh Paus, membagi dunia dalam dua wilayah kekuasaan. Daerah disebelah utara garis Saragosa adalah penguasaan Portugis.
Daerah disebelah selatan garis Saragosa adalah penguasaan Spanyol.
Strategi perdagangan Portugis adalah membangun suatu pusat administrasi yang berhubungan dengan benteng-bentengnya. Oleh karena itu, setelah memasuki Asia pada tahun 1950, Laksamana Alfonso Ed Albuquerque merebut Goa dari kerajaan Bijapur di pantai barat India untuk dijadikan pusat administrasi perdagangan Portugis.
Alfonso de Albuquerque bersama dengan armadanya memonopoli beberapa daerah nusantara, Antara lain adalah Sunda Kalapa, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Perluasan pasar rempah-rempah menyebabkan produksi rempah-rempah oleh penduduk juga meningkat untuk memenuhi permintaan. Masa puncak perdagangan rempah-rempah adalah antara 1570-1630. Ketika itu sekalipun Portugis berusaha keras untuk mempertahankan monopoli atas rempah-rempah, para pedagang rempah-rempah masih sangat penting. Sesungguhnya para penduduk yang memproduksi rempah-rempah tidak mendapat keuntungan yang besar dari perdagangan tersebut. Keuntungan yang paling besar dinikmati oleh para penyedia modal, awak kapal, penguasa kota-kota pelabuhan, dan para syahbandar. Karena perdagangan berlangsung bertahap, harga rempah-rempah meningkat pada setiap tahapan. Cengkih umpamanya, diangkut dari Maluku ke Jawa, lalu dari Jawa ke Malaka. Menurut keterangan Tome Pires di Malaka, cengkih yang dibeli di Ternate dapat meningkat menjadi tujuh kali lipat (Pires, 1944). Perdagangan rempah-rempah itu membawa keuntungan bagi penduduk juga karena berbagai macam bahan kain dari India dan Cina serta berbagai perabot lainnya mengalir dari Malaka ke Maluku (Soejono, 2010).
Kondisi Ekonomi Masa Penjajahan Spanyol
Pada tanggal 8 November 1512, Spanyol tiba di Maluku. Tujuan utama kedatangannya adalah untuk membeli rempah-rempah. Mereka datang melalui Filipina dan Kalimantan Utara menuju Tidore, Bacan, dan Jailolo. Spanyol nmenjajah Indonesia hanya sementara karna mereka lebih mengfokuskan kekuasaannya di Philipina, walaupun hanya sementara namun termasuk bangsa yang pernah menduduki Indonesia.
Sesuai dengan hasil perjajnjian Tordelas bahwa Spanyol mendapat bangian wilayah Barat, rombongan kapal Spanyol bertolak dari negerinya menuju ke arah Barat di bawah pimpinan Magelhaen. Setalah melintasi Samudra Antlantik, mereka tiba di Amerika Selatan. Setelah melintasi Samudra Pasifik, tiba di Philipina. Magelhaen sendiri tewas dalam perang dengan penduduk pulau Cebu di Philipina, tetapi rombongannya meneruskan perjalanan ke Maluku dan tiba di Tidore tahun 1521.
Waktu itu Tidore dipimpin oleh sulatan Al-Mansur, rombongan Spanyol ini disambut baik oleh sultan Tidore dengan ramah tamah.hal ini disebabkan Tidore sedang berselisih dengan Ternate, maka Tidore mencari dukungan seperti halnya ternate didukung Portugis. Namun akhirnya kedua bangsa ini mengadakan kesepakatan dan hasil kesepakatan Portugis memperolah Malku, sedangkan Spanyol memperoleh Filipina, maka mundurlah Spanyol dari Maluku dan memutuskan perhatiannya di Philipina.
Setelah memasuki Pelabuhan Tidore (Seram), mereka diterima dengan sangat ramah oleh Raja Tidore. Alasannya, raja tidore mengharapkan Spanyol mau membantu mereka dalam peperangan melawan Ternate yang ternyata dibantu oleh Portugis. Terjadilah kerja sama erat di antara mereka, namun lebih menguntungkan pihak Spanyol. Kedatangan Spanyol akan mengancam Portugis dalam dalam Monopoli perdagangan rempah-rempah. Oleh karena itu, Portugis merencanakan penyerbuan tehadap Spanyol. Pada tahun 1529,Portugis bersama sekutunya ( Ternte dan Bacan ) berhasil mengakahkan Tidore dan Spanyol.
Spanyol tudak lama berdagang di Maluku. Kapal-kapal Spanyol berlayar di Maluku hanya sampai tahun 1534. Ketika kekuatan Portugis telah Mmundur sekitar awal abad ke-17, kapal Spanyol mulai berlayar kembali di perairan Maluku.
Kondisi Ekonomi Masa VOC
Badan dagang VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) merupakan pembeda antara cara berdagang lintas benua antara bangsa belanda dengan bangsa Portugis, orang-orang belanda memanfaatkan adanya badan dagang (VOC) untuk menanamkan modal, sehingga VOC bukanlah milik negara melainkan milik warga negara atau pihak Swasta, walaupun dalam proses perdagangannya VOC mendapatkan perlindungan politik dari Negara Belanda. (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 29). Perlindungan politik ini menyebabkan VOC leluasa melakukan perdagangan lintas benua, dapat dikatakan bahwa Negara Belanda juga mendapatkan untung dari lancarnya perdagangan VOC, karena itulah VOC mendapatkan perlindungan politik dari negara.
Sebelum VOC terbentuk pedagang - pedagang swasta saling mengklaim bahwa perusahaan merekalah yang memegang otoritas perdagangan terutama di nusantara. Pihak amsterdam dan zeeland sepakat untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga dalam satu perusahaan, dan pada 20 maret 1602 Staten General mengeluarkan sebuah surat izin untuk VOC (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 29). keluarnya surat izin ini berdampak positif bagi pengusaha belanda, karena jika sebelumnya mereka bersaing satu sama lain dengan menurunkan harga jual rempah-rempah atau mencari kualitas rempah terbaik sehingga menarik pembeli, maka dengan keluarnya surat izin bagi VOC, para pengusaha belanda melakukan perdagangan tanpa persaingan, sehingga mereka mendapat untung yang lebih banyak.
Serikat perusahaan ini dikelola oleh sebuah badan yang berjumlah 70 orang, yang mewakili perusahaan lokal sebelumnya, para manejer tersebut memilih 17 orang menjadi direksi, modal dasar yang pertama tidak pernah ditambah, penambahan modal hanya bergantung pada penjualan saham (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 29).
Setelah 17 tahun VOC berdiri, belum satupun kantor berdiri di nusantara, selama ini Gubernur jendral VOC mengatur perdagangan di atas sebuah kapal yang berada di perairan Nusantara, hal ini mungkin dikarenakan negosiasi VOC dengan penguasa lokal mengalami kebuntuan. Barulah ketika Gubernur Jendral Jan Pietersszoon Coen merebut merebut Jayakarta dari Pangeran Wijayakrama,VOC dapat membangun benteng yang diberi nama Batavia (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 30). Dapat dilihat dalam hal ini VOC menerapkan perdagangan dengan dilindungi oleh tentara dan politik. Perebutan Jayakarta dapat dikatakan sebagai penguatan monopoli VOC ata produksi rempah di Nusantara, penguatan ini dikarenakan adanya benteng-benteng yang melindungi VOC dalam perdagangannya.
Dalam perdagangannya VOC menerapkan sistem kemitran dengan penguasa lokal. Sistem Kemitraan atau Partnership digunakan VOC ketika menghadapi pihak portugis, yang merupakan musuh bersama pihak penguasa lokal dan VOC, namun tujuan dibalik adanya kemitraan VOC dengan penguasa lokal berbeda, penguaa lokal menyetujui adanya kemitraan dilandasi faktor politik, sedangkan VOC melakukan kemitraan dengan penguasa lokal secara umum dilandasi faktor ekonomi namun ada juga faktor politik didalamnya, agar VOC leluasa untuk memonopoli perdagangan di nusantara tanpa adanya ganguan dari Portugis.
Penguasa lokal menjadi kunci agar VOC dapat leluasa untuk memonopoli perdagangan, penguasa lokal yang menjalin kerja sama dengan VOC diantaranya ialah di kepulauan Maluku Utara, keamanan di ternate dijamin oleh VOC yang pada masa itu dipimpin oleh sultan Muzafar Syah, dengan adanya kemitraan ini VOC melindungi ternate dari serangan Spanyol dan VOC dapat memonopoli cengkih di kerajaan Ternate (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 32).
Kepulauan Ambon dan kepulauan banda tidak luput dari kemitraan VOC. Dapat diketahui bahwa kemitraan yang terjalin antara VOC dan Penguasa Lokal dikarenakan adanya ganguan dari luar, kecemasan terhadap ganguan dari luar inilah yang dimanfaatkan VOC dengan dalih memberi perlindungan namun ingin lebih menancapkan pengaruh monopoli dagangnya di daerah-daaerah diatas.
Setelah Malaka direbut VOC pada 1646 terjadi perpindahan pusat perdagangan, yang tadinya berada di Malaka, para pedagang Islam dari India dan Timur Tengah berpindah ke Banten dan Makassar begitu juga para pedagang Cina, dua tempat ini mulai berkembang setelah Malaka menurun (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 32). kemunduran Malaka yang saat itu menjadi pusat perdagangan laut di Asia Tenggara mempunyai dampak positif dan negatif, dampak positif ialah bagi Banten dan Makassar mereka menjadi tumbuh lebih besar karena adanya perdagangan ini, namun sisi negatifnya ialah VOC memusatkan tujuannya untuk melumpuhkan kedua tempat ini dengan cara intervensi, supaya dapat leluasa memonopoli perdagangan di Nusantara.
Perbedaan tujuan terjadi ketika pihak VOC bekerja sama dengan Mataram, VOC menjalin kemitraan dengan Mataram bukan untuk masalah perdagangan antar benua, namun VOC bermitra dengan Mataram supaya kebutuhan logitik seperti makanan dan kayu untuk membuat perumahan pegawai VOC atau untuk perbaikan kapal menjadi lancar. Oleh karena itu kantor dagang VOC yang pertamadi wilayah mataram adalah di Japara. Hubungan damai antara VOC dengan Mataram mulai dirintis dalam zaman Sultan Amangkurat I, pada tahun 1646 ia membuat sebuah perjanjian perahabatan dengan VOC. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja. Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Akhir abad ke 18 VOC dibubarkan, banyak dugaan bahwa para pegawai tinggi VOC dan para perwiranya banyak menyalah gunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri sehingga merugikan VOC. Bahkan kerika itu ingkatan VOC dipleetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Tenggelam Karena Korupsi) (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 51). Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Namun pada tahun 1795, VOC dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
a. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar
b.Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar
c.Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri
d.Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas deficit.
Kondisi Ekonomi Masa Penjajahan Prancis
Indonesia yang dulunya disebut Hindia-Belanda secara teori berada dibawah kekuasaan Belanda selama 350 tahun. Kondisi Indonesia kala itu sangat terpengaruh dengan kondisi yang ada di Belanda-Eropa. Sekitar tahun 1803, terjadi perang di wilayah Eropa. Perang yang terjadi antara Inggris dan Perancis, yang membawa dampak hingga belahan dunia lain. Kedua negara ini memiliki kekuatan yang sangat kuat dibidangnya masing-masing. Inggris lebih kuat di laut dan Perancis yang lebih kuat di darat. Kedua negara ini juga berebut wilayah jajahan untuk membuktikan kekuatan masing-masing negara.
Perang yang terjadi antara Inggris dan Perancis mempengaruhi keadaan negara di Eropa sendiri, termasuk Belanda sendiri yang kala itu menjadi wilayah jajahan Perancis. Secara tidak langsung daerah jajahan Belanda menjadi milik Perancis termasuk Hindia Belanda. Dengan demikian perang di Eropa juga berdampak hingga kawasan Asia. Inggris yang juga memiliki wilayah di Asia yakni di India, juga menginginkan menguasai wilayah Asia. Inggris telah mampu menguasi wilayah Semenanjung Malaya dan siap memasuki wilayah Hindia-Belanda.
Pada tahun 1804, Napoleon Bonaparte menjadi Kaisar dan Louis Napoleon menjadi raja Belanda. Dengan keadaan yang berkecamuk saat itu dan untuk mempertahankan Hindia-Belanda terutama Pulau Jawa. Maka dari itu dikirimlah Marshall Willem Deandles ke Jawa tahun 1808. Kedatangan Deandles langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan adminitrasi yang buruk. Kebangkrutan VOC yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Dengan bergantinya kekuasaan oleh Perancis, VOC kala itu dibubarkan. Deandles juga mengganti bendera Belanda dengan bendera Perancis di depan gedung Gubernur, dan tak ada satupun pegawai yang membantah.
Setelah pembubaran VOC, pada beberapa dasawarsa abad XIX, terjadi kemunduran pasar gula internasional, sementara di Hindia-Belanda terdapat kelebihan produksi. Hal ini merupakan akibat perang yang berkecamuk antara Inggris dan Perancis, yang juga menghambat perdagangan denga negeri Belanda. Gubernur Jendral Deandles (1808-1811) tidak melihat prospek masa depan perkebunan tebu; selama masa pemerintahanya produksi merosot drastis setelah penarikan kembali uang muka yang tadinya diberikan kepda pengusaha pabrik gula dan setelah sistem jual paksa yang biasanya menjadi ciri VOC dihapuskan.(Laanen,V&Creutzberg.:272)
Kebijakan pada bidang ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Deandles, antara lain seperti:
1. Menerapkan aturan penyerahan sebagian hasil bumi sebagai pajak (contingenten) dan aturan penjualan paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
2. Menerapkan kerja paksa yang memberi manfaat besar bagi Belanda (pembangunan jalan Anyer-Panarukan).
3. Menjual tanah-tanah kepada swasta bangsa Belanda dan Tionghoa lengkap dengan penduduknya.
Kebijakan Deandles ini sangat merugikan pada pihak rakyat pribumi, karena hak-hak mereka dirampaskan dan rakyat pun menderita secara fisik. Terutama pada aturan penyerahan sebagian hasil pajak dan penjualan paksa kepada pihak pemerintah dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini merugikan rakyat dan menguntungkan pihak pemerintah. Rakyat tidak bisa bergerak lepas dari pengamatan pemerintah.
Pada akhir masa pemerintahan Deandles, menemukan kesulitan pada bidang ekonomi. Keadaan keuangan merosot karena blokade Inggris pada perdaganagn. Sedangkan untuk mata uang, Deandles mengeluarkan assigant yang merupakan mata uang yang biasa digunakan di Perancis. Pemasukan yang diperoleh adalah dari pajak, penjualan dan penyewaan tanah. Selain itu tindakan Deandles yang membuat rakyat menderita, membuat hubungan rakyat pribumi dengan belanda menjadi semakin rusak. Mendengar penderitan rakyat, maka pemerintah Belanda dari negeri Belanda memulangkan kembali Deandles ke Belanda.
Kondisi Ekonomi Masa Penjajahan Inggris
Inggris menyerbu pulau Jawa pada saat Gubernur Jenderal Daendels dipanggil kembali ke Eropa. Penggantinya Gubernur Jenderal Jan Willem Jansen tidak mampu menahan serangan Inggris. Pada tanggal 18 September 1811, Jansen terpaksa menyerahkan kepada Inggris. Ia menandatangani Perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut:
1. Pulau Jawa, Palembang, dan Makasar diserahkan kepada Inggris.
2. Semua anggota tentara Belanda ditahan.
3. Pemerintah Inggris tidak akan mengakui utang-utang yang dibuat oleh pemerintah Perancis selama masa pemerintahan Daendels.
4. Pegawai-pegawai pemerintah yang masih ingin bekerja di bawah pemerintahan Inggris boleh tetap memegang jabatannya.
Dengan demikian mulailah zaman baru dalam sejarah kolonial di Indonesia. Oleh pemerintah Inggris, Jawa dijadikan sebagai tempat jajahannya di Hindia. Thomas Stanford Tafles dianggap sebagai wakil gubernur di Indonesia untuk mewakili raja muda Lord Minto yang berkedudukan di India. Sebagai orang yang beraliran Liberal, Raffles ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia termasuk dalam bidang ekonomi. Ia hendak melaksanakan kebijakan ekonomi yang didasarkan pada dasar-dasar kebebasan sesuai ajaran Liberalisme. Maka dalam masa pemerintahannya (1811-1816) Raffles mencoba untuk melaksanakan kebijakan sebagai berikut:
1. Menghapus gala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau yang biasa disebut dengan Rodi. Rakyat diberi kebebasan untuk menanami tanahnya dengan tanam-tanaman yang dianggap menguntungkan. Mengadakan pergantian sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem pemerintahan kolonial Belanda yang bercorak barat. Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah jajahan. Karena itu Raffles menganggap bahwa yang menggarap sawah adalah penyewa dari tanah pemerintah.
2. Para petani mempunyai kewajiban membayar sewa tanah (Land Rente) pada pemerintah. Sewa tanah atau land rente itu harus diserahkan sebagai satu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk. Sesungguhnya sistem sewa diperkenalkan oleh Raffles itu mengandung maksud yang luas. Sistem telah dimaksudkan untuk membebaskan beban kehidupan dari pundak penduduk, dan memberikan kebebasan atas tanah yang dimiliki oleh petani. Mereka membayangkan apabila para petani memiliki kebebasan untuk menanami tanahnya dan menjual hasil panennya secara bebas maka mereka akan terangsang untuk bekerja secara giat demi hasil yang dinikmati sendiri. Padahal sistem sewa tanah tersebut sangat merugikan para petani karena mereka harus menyerahkan sewa kepada pemerintah. Akibatnya para petani enggan bekerja giat untuk mengolah tanahnya.
3. Dalam pelaksanaanya sistem Saw tanah ini membawa banyak akibat. Sistem sewa tanah telah menimbulkan perubahan-perubahan penting yaitu: Unsur-unsur paksaan diganti dengan unsur kebebasan, sukarela, dan hubungan perjanjian atau kontak.
4. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat didasari oleh sifat kontak yang merupakan hal baru bagi penduduk tanah jajahan. Dalam kehidupan sosial dan budaya ikatan adat-istiadat yang secara turun-temurun telah berjalan menjadi semakin longgar karena pengaruh kehidupan yang bercorak barat. Demikian pula kehidupan ekonomi yang hendak diganti dengan ekonomi uang.
Kebijakan yang diterapkan oleh Raffles di Hindi banyak dipengaruhi teori Liberalisme. Inggris sukses menerapkannya di India. Pada tahun 1812, Raffles mengadakan pembaruan sistem pengadilan dengan sistem juri seperti di Inggris dan menata kehidupan politik pemerintahan di Jawa. Raffles membagi pulau Jawa dalam 18 karesidenan dan mengurangi kekuasaan-kekuasaan para bupati. Kesultanan Banten di hapuskan, sementara itu kedaulatan kesultanan Cirebon diserahkan kepada Inggris. Sultan Baharuddin dari Palembang dipaksa turun tahta dan digantikan oleh adiknya Najamuddin. Atas pengangkatan ini Raffles mendapat hadiah Pulau Bangka dan Biliton.
Raffles berhasil mendekati dan mempengaruhi beberapa daerah atau kerajaan untuk bekerja sama dengan Inggris. Misalnya, mengasingkan Sultan Hamengku Buwono II ke Pinang dan menggantikannya dengan Hamengku Buwono III dari Yogyakarta (1811). Selain itu, untuk memperlemah kesultanan Yogyakarta, Raffles menyerahkan sebagian wilayahnya kepada pangeran Natakusuma. Raffles juga memperkecil wilayah kesunan Surakarta. Kesulitan mulai dihadapi oleh Raffles setelah Lord Minto meninggal dunia pada bulan Juni 1814. Bahkan, meski tidakterbukti, ia dituduh telah melakukan korupsi. Kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda semakin lemah setelah negara-negara yang melawan Napoleon membuat perjanjian untuk mendirikan kerajaan Belanda yang baru. Akhirnya pada tanggal 13 Agustus 1814 Inggris menyetujui bahwa semua harta dan kekuasaanya di Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda. Keputusan ini diperkuat dengan Kongres Wina pada tahun 1815 yang menyebutkan bahwa Inggris harus mengembalikan Jawa dan kekuasaan Hindia Belanda lainnya kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan yang mengakhiri Perang Napoleon. Serah terima kekuasaan dilaksanakan antara Letnan Gubernur John Fendall (Inggris) kepada Tiga Komisaris Belanda yaitu Cornelis Elout, Buijskes, dan ban Dar Capellen pada bulan Agustus 1816. Berakhirnya masa pemerintahan Raffles di Pulau Jawa. Hindia Belanda kembali dikuasai Belanda.
Raffles kemudian menduduki pos Bengkulu. Pada tahun 1819 Inggris berhasil memperoleh Singapura dari Sultan Johor. Pada tahun 1824 Inggris dan Belanda kembali berunding melalui Treaty of London tahun 1824 yang isinya antara lain menegaskan:
1. Belanda memberikan Malaka kepada Inggris dan sebaliknya Inggris memberikan Bengkulu kepada Belanda.
2. Belanda dapat berkuasa di sebelah selatan garis paralel Singapura sedangkan Inggris di sebelah utara.
Kondisi Ekonomi Masa Hindia-Belanda
1) Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870.
Dalam tahun 1830 Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubenur jendral yang baru untuk Indonesia, yaitu Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama meningkatkan tugas utama meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem selama sistem pajak tanah berlangsung. Dalam membebankan van Den Bosch dengan tugas dengan tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan parah keuangan negeri Belanda. Hal ini di sebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang-hutang yang besar. Oleh karena masalah ini tidak dapat ditanggulangi oleh Belanda sendiri, pemikiran timbul untuk mencari pemecahan-pemecahannya di koloni-koloninya di Asia yaitu Indonesia. Pertimbangan-pertimbangan ini menjadi gagasan Sistem Tanam Paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 352).
Kolonisasi pemerintah Belanda atas P.Jawa, mengalami babak baru setelah berakhirnya ‘Perang Jawa’ (Java Oorlog, 1825-1830). Perang yang berkepanjangan tersebut, mengakibatkan kas negara kolonial menjadi bangkrut. Maka diperlukan kebijakan baru terutama dalam bidang ekonomi untuk mengisi kekosongan kas negara. Kebijakan politik baru dalam bidang ekonomi tersebut terkenal dengan sebutan sistim Cultuurstelsel (Sistim Tanam Paksa, 1830-1870) (Hardinito, 2004: 20).
Tanam paksa (Cultuurstelsel) berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Rafles telah mencoba mendorong para petani di Jawa untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor mereka dengan jalan membebaskan mereka dari penyerahan-penyerahan wajib dan dengan memberikan mereka perangsang-perangsang positif, yaitu setelah mereka melunasi kewajiban pembayaran sewa tanah (land rent) sehingga mereka dapat memperoleh hasil bersih dari penjualan hasil-hasil pertanian mereka sendiri. Kegagalan sistem pajak tanah meyakinkan Van den Bosch bahwa pemulihan sistem penyerahan wajib dilakukan untuk memperoleh hasil tanaman dagangan yang dapat diekspor ke luar negeri. Selain itu, pengalaman selama sistem pajak tanah berlaku telah memperlihatkan bahwa pemerintah kolonial tidak dapat menciptakan hubungan langsung dengan para petaniyang secara efektif dapat menjamin arus tanaman ekspordalam jumlah yang dikehendakitanpa mengadakan hubungan lebih dahulu dengan para Bupati dan kepala-kepala desa. Artinya, ikatan-ikatan feodal dan tradional yang berlaku di daerah masih perlu dimanfaatkan jika hasil-hasil yang diharapkaningin diperoleh.
Ciri utama sistem tanam paksa yang diperlakukan oleh Van Den Boschadalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yakni hasil-hasil pertanian mereka. Van den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan dapat dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual disana kepada pembeli-pembelidari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 353).
Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa yang tertera dalam Stadsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 beberapa tahun setelah Tanam Paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut.
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagang yang dapat dijual di pasar Eropa.
2. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang disediakan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengankutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Diatas kertas, ketentuan-ketentuan diatas memang kelihatan tidak terlampau menekan rakya, walaupun orang pada prinsipnya dapat mengajukan keberatan-keberatan mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam Sistem Tanam Paksa itu. Dalam praktik ternyata pelaksanaan Sistem tanam Paksa seringkali menyimpang dari Ketentuan-ketentuan pokok sehingga rakyat banyak dirugikan (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 355).
Untuk menjamin bahwa para pegawai belanda maupun para Bupati dan kepala desamenunaikan tugas dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka dengan nama Cultuurprocenten, selain pendapatan biasa mereka. Cultuurprocenten ini merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda dan para Bupati dan kepala Desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada tiap-tiap desa. Cara ini menyebabkan timbulnya banyak penyelewengan yang merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, Bupati, dan kepala desa mempunyai vested interest dalam usaha meningkatkan produksi tanaman untuk ekspor (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 356).
Tanaman dagang terpenting yang ditanam selama sistem tanam paksa berlaku adalah kopi, tebu (gula), dan nila (indigo). Kenaikan dalam volume ekspor ketiga tanaman perdagangan yang terpenting selama sistem tanam paksa berlangsung dibarengi dengan kenaikan nilai ekspor ketiga barang dagang ini. jika dalam tahun 1830 ekspor kopi dari Jawa berjumlah f4.577.000, dalam tahun 1840 nilai ini sudah mencapai jumlah f37.368.000, ekspor gula dalam tahun 1830 berjumlah f1.558.000, dalam tahun 1840 berjumlah f13.782.000. selain ketiga tanaman diatas pemerintah Belanda juga mengadakan penanaman paksa untuk tembakau dan teh. Meskipun tidak begitu berhasil dibandingkan dengan ketiga tanaman diatas namun teh dan tembakau juga mengalami kenaikan ekspor yang mengesankan (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 364).
Sebagai suatu mekanisme untuk mengeksploitasi penduduk di Jawa demi kemakmuran negeri Belanda, sistem tanam paksa memperlihatkan keunggulannya selama jangka waktu 1830-1840 yang berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah kolonial dan berhasil menutupi defisit yang diderita pemerintah Belanda.
Kemajuan-kemajuan yang terlihat di Indonesia selama sistem Tanam Paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 371) dan masuknya ekonomi uang dipedesaan (Leirissa & Tangkilisan, 2012: 55). Selain itu, pertumbuhan pertanian komersial sesudah tahun 1830 mempunyai efek perangsang pada ekonomi pedesaan, dengan komersialisasi menjurus pada peningkatan taraf kehidupan bagi mayoritas penduduk pedesaan, paling tidak selama dasawarsa pertengahan abad ke-19. Cara hidup keluarga subsistensi yang lama yang menghasilkan sendiri kebanyakan dari kebutuhan materilnya berangsur-angsur mulai berganti dengan suatu cara hidup materal yang komersial. Sistem ini langsung atau tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan yang lebih mantap bagi kehidupan ekonomipangan seta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani, yang sebenarnya amat terbatas pilihannya (Leirissa & Tangkilisan, 2012: 63-64).
Culturstelsel juga dilakukan di beberapa tempat di luar Jawa, meskipun dalam ukuran yang lebih kecil. Di Minahasa sejak 1822 telah diselenggarakan Culturstelsel untuk kopi. Sistem ini baru dihapus pada 1899. Sumatra Barat sejak 1847 juga diadakan culturstelsel untuk kopi yang baru dihapus pada 1908. Di Madura terdapat pula culturstelsel untuk tembakau. Selain itu culturstelsel juga masih tetap berlangsung di Maluku (dari masa VOC), yaitu cengkeh di kepulauan Ambon dan pala di kepulauan Banda. Bentuk ini baru dihapuskan 1860 (Leirissa & Tangkilisan, 2012: 59).
Di Jawa penanaman paksa untuk berbagai tanaman dagang setelah tahun 1860 lambat laun mulai dihapuskan. Penghapusan penanaman paksa akhirnya memang tidak terelakkan karena setelah tahun 1840 terbukti tidak begitu menguntungkan. Selain itu gerakan liberalisme di negeri Belanda yang makin kuat memegang peranan pokok dalam usaha penghapusan sisten tanam paksa sekitar tahun 1870. Namun untuk beberapa tanaman khususnya kopi masih tetap diperhatikan sampai akhir abad ke-19. Dan menjelang tahun 1920 sisa tanam paksa sama sekali terhapus dari Indonesia (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 368).
2) Sistem Politik Ekonomi Liberal (1870-1900)
Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut aliran liberal berpendapat bahwa negara sepatutnya tidak ikut campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan pasar. Ketika orang liberal mencapai kemenangan politik di Negeri Belanda, mereka mencoba menerapkan asas-asas liberalisme di koloni-koloni Belanda, termasuk Indonesia (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 374).
Setelah berakhirnya sistim Tanam Paksa, pada th. 1870, pemerintah kolonial mengadakan kebijakan baru dengan mengeluarkan undang-undang agraria (Agrarischewet). Isi dari undang-undang tersebut pada pokoknya memberi kesempatan kepada pihak swasta (pertikelir) untuk menyewa tanah (selama 75 tahun), yang digunakan untuk perkebunan. Maka sejak saat itu berdirilah perkebunan partikelir dalam jumlah besar di Jawa, yang disusul dengan meningkatnya jumlah penduduk Eropa di Jawa (Hardinito, 2004: 20).
Pada masa ini Belanda menjalankan politik “Pintu Terbuka”, yang mengijinkan masuknya modal asing. Setelah melaksanakan politik pintu terbuka, pemerintah Hindia Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil Revolusi Industri selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870-1900 pada umumnya disebut Sistem Liberalisme. Maksudnya, bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun daerah-daerah diluar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun daerah-daerah di luar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Sedangkan di Jawa beberapa komuditi yang penting adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet, kina, dan kelapa. Sedangkan di luar Jawa karet, kelapa sawit, dan tembakau merupakan produk utama (Leirissa & Tangkilisan, 2012: 65). Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Agraria (Agrarissche Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1970. Pada suatu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani Indonesia atas tanah mereka. Di lain pihak, undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang asing, orang-orang bukan pribumi Indonesia, untuk menyewa tanah dari rakyat indonesia. (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 341). Pertumbuhan diluar Jawa juga disebabkan oleh perkembangan pertambangan yang padat modal. Tiga jenis pertambangan yang yang paling penting adalah timah, batu bara, dan minyak bumi (Leirissa & Tangkilisan, 2012: 79).
Walaupun zaman liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, pada akhir ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari pada di masa lampau. Pada akhir abad ke-19 ada pertanda jelas bahwa orang-orang Indonesia, khususnya Jawa telah mengalami kemerosotan di tingkat hidup mereka, sehingga menimbulkan kritik-kritik yang tajam di Negeri Belanda sendiri (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 376).
3) Politik Etis / Politik Balas Budi
Praktek kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda dari tahun 1870-1900, telah membawa kemerosotan kehidupan penduduk Indonesia, terutama di Jawa. Oleh sebab itu maka timbullah kritik yang tajam terhadap pemerintah. Kritik-kritik itu mirip dengan kritik kritik yang dilancarkan kepada sistem tanam paksa. Pada dasarnya kritik itu tidak menyetujui praktek-praktek dari kebijaksanaan yang telah dilakukan itu, yang telah membawa keuntungan hanya di pihak pemerintah Belanda. Pihak pribumi tetap hidup dalam kesengsaraan, padahal mereka telah bekerja keras untuk menghasilkan keuntungan bagi Negeri Belanda. Mereka tidak diperbaiki kehidupanmnya, padahal telah berjasa .
Salah seorang juru bicara kaun etis yang terkemuka adalah van Deventer, penulis artikel yang berjudul Hutang Budi. Ia menuntut restitusi berjuta-juta uang yang diperoleh Negeri Belanda sejak berlakunya undang-undang Comtabilitet pada tahun 1867 (Wiharyanto, 2006: 13).
Perjuangan untuk melancarkan politik kolonial yang progresif dilakukan oleh van Kol. C. Th. Van Deventer dan P. Brooschoft. Van kol menjadi juru bicara golongan soialis dan dengan pengalamannya di Indonesia melancarkan kritik terhadap keadaan yang serba merosot di Indonesia. Dalam kencamannya, Brooschoft menyatakan bahwa selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan atau bagian dari penghasilan rakyat dan tidak mengembalikan sepeserpun. Politik yang deperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat, serta efisiensi kemudian terkenal dengan politik etis.
Politik etis mengubah pandangan dalam politik kolonial yang beranggapan Indonesia tidak lagi sebagai wingewest (daerah yang menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluaannya, dan di tingkatkan budaya pribumi (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 21-24).
Politik Etis yang menggunakan tiga sila irigasi, edukasi dan imigrasi, mulai dilaksanakan tahun 1901. Perkebunan tebu menghendaki irigasi yang intensif. Pabrik-pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang, dan cabang-cabang perusahaan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan manusia dan tenaga kerja yang trampil dan murah. Sementara itu program pemindahan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih kosong, ternyata juga hanya untuk mengirimkan tenaga kerja ke daerah-daerah perkebunan Belanda.
Dengan demikian walaupun pemerintah Belanda menjalankan Politik Etis yang mendasarkan diri pada triloginya van Deventer (irigasi, edukasi dan imigrasi), pelaksanaannya hanya untuk menguntungkan pemerintah Belanda. Irigasi dibuat untuk perkebunan-perkebunan Belanda, edukasi dibuka untuk menghasilkan tenaga-tenaga trampil yang murah, dan imigrasi dilakukan untuk mengirimkan tenaga kuli yang murah ke perkebunan-perkebunan Belanda luar Pulau Jawa (Wiharyanto, 2006: 13).
B. KESIMPULAN
Strategi perdagangan Portugis adalah membangun suatu pusat administrasi yang berhubungan dengan benteng-bentengnya. Alfonso de Albuquerque bersama dengan armadanya memonopoli beberapa daerah nusantara, Antara lain adalah Sunda Kalapa, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Kedatangan Spanyol mengancam Portugis dalam dalam Monopoli perdagangan rempah-rempah. Spanyol tudak lama berdagang di Maluku. Kapal-kapal Spanyol berlayar di Maluku hanya sampai tahun 1534.
Badan dagang VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) merupakan pembeda antara cara berdagang lintas benua antara bangsa belanda dengan bangsa Portugis, orang-orang belanda memanfaatkan adanya badan dagang (VOC) untuk menanamkan modal, sehingga VOC bukanlah milik negara melainkan milik warga negara atau pihak Swasta, walaupun dalam proses perdagangannya VOC mendapatkan perlindungan politik dari Negara Belanda.
Masa Penjajahan Prancis Kebijakan Deandles sangat merugikan pada pihak rakyat pribumi, karena hak-hak mereka dirampaskan dan rakyat pun menderita secara fisik. Terutama pada aturan penyerahan sebagian hasil pajak dan penjualan paksa kepada pihak pemerintah dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini merugikan rakyat dan menguntungkan pihak pemerintah. Rakyat tidak bisa bergerak lepas dari pengamatan pemerintah.
Masa Penjajahan Inggris, kebijakan yang diterapkan oleh Raffles di Hindia banyak dipengaruhi teori Liberalisme. Pada masa Hindia-Belanda ada tiga sistem yang diterapkan pada masa ini, yaitu Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) pada tahun 1830-1870, Sistem Politik Ekonomi Liberal (1870-1900) dan Politik Etis / Politik Balas Budi.
C. DAFTAR RUJUKAN
Hardinito. 2004. Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda yang Berpengaruh pada Morpologi (Bentuk dan Struktur) Beberapa Kota Di Jawa. Surabaya: Universitas Kristen Petra
Laanen,Creutzberg,Mochtar & Madjid,A.Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.Yayasan Obor Indonesia. Dari Google Book, (Online), ( http://books.google.co.id) diakses 1 Oktober 2014
Leirissa, G. A. Ohorella & Tangkilisan, Yuda B. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Pires, Tome. 1944. The Suma Orientalis of Tome Pires (translated R. Cortesao), Hakluyt Society, London.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,H.C.1991.Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
Soejono, R.P. (Ed.Jilid). 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Jilid IV. Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Editor Umum: Marwati Djoened Poesponeoro dan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-4.
Wiharyanto, A Kardiyat. 2006. Kebijakan Ekonomi Kolonial Tahun 1830-1900. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
KONDISI KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN BARAT
Reviewed by bigger
on
Agustus 11, 2022
Rating: 5