KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945
ABSTRAK
Kata kunci: pendudukan Jepang, perekonomian, masyarakat
Indonesia
Kedatangan
Jepang yang menggantikan kekuasaan Belanda pada tanggal 11 Januari 1942 memberikan
banyak perubahan disegala bidang. Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu
kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi dimana sistem ini adalah
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya,
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Pada
dasarnya sistem ekonomi pada masa pendudukan Jepang diatur oleh pemerintahan
pusat dimana tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama seusai
memenangkan perang pasifik. Namun, pada kenyataannya tidak sesuai dengan
peraturan tersebut.
Pada
masa pendudukan Jepang Indonesia mengalami masa sulit. Disamping kelaparan
terjadi dimana-mana bahan pakaian pun juga menjadi suatu hal yang langka.
Sebagian besar masyarakat yang dipekerjakan sebagai romusha kurang mendapatkan
makanan secara layak, sehingga banyak dari pekerja romusha yang meninggal
karena kelaparan dan sakit. Perekonomian di Indonesia menjadi berantakan karena
pada masa pendudukan Jepang perekonomian hanya ditujukan untuk peperangan.
Kedatangan Jepang di Indonesia
Dalam
masa sebelum Perang Dunia II Indonesia mengalami sistem ekonomi liberal.
Praktis seluruh kegiatan ekonomi berada di tangan swasta, seperti perkebunan,
perternakan, pertanian dan lain-lain kegiatan produksi, tetapi juga perusahaan
listrik, perusahaan kereta api, perbankan berikut Bank-sentralnya, dan
lain-lain kegiatan menghasilkan jasa bagi masyarakat umum banyak
diselenggarakan pada sektor swasta. Masyarakat Indonesia yang luas tidak
menikmati manfaat dari sistem ekonomi liberal ini. Pelaku-pelaku ekonomi
terdiri terutama dari kalangan Eropa sebagai warga negara kelas utama, kalangan
Timur-Asing sebagai warga negara kelas dua dan baru kemudian pribumi selaku
warga kelas tiga. Ini mengakibatkan bahwa perlakuan dan fasilitas tidaklah sama
serta jauh lebih menguntungkan bagi warga negara kelas satu dan kedua
dibandingkan dengan warga pribumi. Kekalahan yang diderita Hindia-Belanda dalam
perang dengan Jepang 1942 segera disusul dengan tumbangnya sistem ekonomi
liberal ini. Secara ekstrim bandul sistem ekonomi terayun ke jurusan sistem
ekonomi komando. Masa pendudukan Jepang ditandai dengan siste ekonomi perang,
yang meletakan keperluan perang diatas segala-galanya. Karena itu kepentingan
otoritas penguasa menonjol sekali dan satuan ekonomi masyarakat harus diabaikan
bagi kepentingan penguasa. Secara singkat dasar ekonomi liberal diobrak-abrik
oleh sistem ekonomi perang selama masa pendudukan Jepang ini. (Soesastro, H. 2005: 65)
Kedatangan Jepang yang menggantikan
kekuasaan Belanda pada tanggal 11 Januari 1942, dimulai dengan menduduki wilayah
Tarakan, Kalimantan Timur. Kemudian terus memasuki daerah-daerah lain di
Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatra, dan daerah lain). Dalam tempo
yang relatif singkat telah menguasai Hindia-Belanda. (Poesponegoro, 2008: 3).
Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode
yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum serbuan Jepang, tidak
ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia.
Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan-perkembangan luar biasa
yang memungkinkan terjadinya Revolusi Indonesia. Terutama di Jawa, dan terutama
di tingkat yang lebih rendah di Sumatera, mereka mengindoktrinasi, melatih dan
mempersenjatai banyak generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin
yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat. Akhirnya, sesuatu yang
paling menunjang adalah kekalahan Jepang dalam perang (Ricklefs, 2008:421).
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia
telah memberikan banyak perubahan disegala bidang diantaranya perubahan sistem
kepemerintahan dan perubahan sistem perekonomian. Indonesia kembali mengalami transisi
berbagai sistem ekonomi. Jepang menjajah Indonesia hanya tiga tahun setengah
namun kondisi ekonomi di Indonesia semakin terpuruk. Sebagian besar penduduk
Indonesia hidup melarat. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, rakyat Indonesia tidak mampu.
Rakyat Indonesia juga dibebani kerja paksa tanpa diperhatikan asupan gizinya,
karena itu tidak sedikit rakyat Indonesia yang mati akibat Romusha.
Perekonomian Indonesia sebagai negara
terjajah pada masa pendudukan Jepang telah mengalami keterpurukan. Pada zaman
pendudukan Jepang Indonesia bukan hanya terbebani dengan Romusha namun juga
sering terjadi kelaparan dimana-mana. Pendudukan Jepang telah memberikan nasib
yang tragis bagi penduduk yang dijajahnya. Pemerintah militer Jepang
menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi dimana sistem
ini adalah mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai
akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Pada dasarnya sistem ekonomi pada zaman Jepang seluruhnya diatur oleh pemerintahan
pusat dimana tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama seusai
memenangkan perang pasifik.
Landasan dasar perekonomian Jepang ternyata
tidak sesuai dengan yang dikatakan yakni mengajak bangsa Indonesia untuk
bersama-sama mencapai kemakmuran, pada kenyataannya Indonesia hanya dijadikan
alat untuk mencapai kepentingan Jepang yang saat itu dalam situasi
perang. Masa pendudukan Jepang kesejahteraan rakyat merosot tajam dan
terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok
pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur
menempati prioritas utama. Impor dan ekspor terhenti, sehingga terjadi
kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Kesejahteraan bangsa Indonesia tidak
diperhatikan oleh Jepang, kaum pribumi hanya dijadikan bahan eksploitasi untuk
membiayai perang dalam Asia-Pasifik. Kelaparan terjadi dihampir seluruh wilayah
Indonesia.Rakyat juga mengalami kekurangan dalam hal berpakain. Pada masa
pendudukan Jepang, rakyat menggunakan Goni yang banyak kutunya untuk menutupi tubuhnya.
Selain itu rakyat juga terpaksa memakan makanan yang tidak layak untuk dimakan
seperti bekatul yang biasa untuk makanan ternak.
Penguasaan
dan Pengawasan Jepang Terhadap Sumber-Sumber Ekonomi Indonesia
Rencana
penguasaan terhadap Asia Tenggara yaitu menguasai dan mendapatkan sumber-sumber
bahan mentah untuk industri perang, terutama minyak bumi. Jepang menganggap
bahwa perang akan berlangsung lama sehingga penguasaan wilayah yang kaya bahan
mentah akan meringankan beban pemerintahan Jepang. Rencana Jepang tersebut
dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap penguasaan. Tahap
kedua merupakan rencana untuk jangka panjang, yaitu menyusun kembali struktur
ekonomi wilayah tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan-bahan untuk
perang. Rencana struktur ekonomi tersebut bertumpu pada kemampuan masing-masing
wilayah dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, yang disebut dengan Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Jepang
berhasil merebut Hindia Belanda pada bulan Maret 1942. Pemerintah Hindia
Belanda melaksanakan aksi bumi hangus dikarenakan invasi Jepang yang tidak
dapat ditahan lagi. Aparat produksi yang merupakan objek-objek vital
dihancurkan. Akibatnya yaitu pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh
kehidupan ekonomi lumpuh. Perubahan kehidupan ekonomi dari keadaan normal
menjadi ekonomi perang.
Seiring
dengan perkembangan keamanan, Pemerintah Pendudukan Jepang mengambil alih semua
kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah
Pendudukan Jepang yaitu rehabilitasi prasarana ekonomi yang meliputi jembatan,
alat-alat transport dan telekomunikasi yang bersifat fisik. Dikeluarkannya
beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi. Penggunaan
dan peredaran persediaan barang serta barang yang disita dari musuh diawasi
secara ketat. Dikeluarkannya peraturan pengendalian harga dan sanksi berat bagi
pelanggarnya untuk mencegah meningkatnya harga barang dan timbulnya pelbagai
manipulasi.
Barang
atau harta milik musuh menjadi hak milik pemerintahan Jepang. Harta milik musuh
yang disita antara lain perkebunan, bank, pabrik, dan perusahaan vital.
Perusahaan vital tersebut terdiri dari pertambangan, listrik, telekomunikasi
dan perusahaan transpor. Khusus untuk perkebunan dikeluarkan undang-undang No. 322/1942. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa Gunseikan
(Kepala Pemerintah Militer) langsung mengawasi perkebunan kopi, kina, karet,
dan teh. Pelaksanaan perkebunan tersebut diserahkan kepada badan pengawas yang
sudah di bentuk oleh Gunseikan, yaitu
Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK). SKK
juga bertindak sebagai pembeli dan penentu harga penjualan hasil perkebunan.
Kewenangan lain dari SKK yaitu selaku pemberi kredit kepada perkebunan yang
ditunjuk oleh Gunseikan untuk
direhabilitasi. Sebagai pelaksana penguasaan perkebunan-perkebunan tersebut
ditunjuk beberapa perusahaan swasta Jepang. Tanpa petunjuk dari Gunseikan, semua pihak dilarang
melakukan rehabilitas perusahaan perkebunan[1]. Kopi, teh, dan tembakau
digolongkan sebagai barang kenikmatan yang kurang berguna untuk usaha perang.
Perkebunan kopi, teh, tembakau digantikan dengan tanaman penghasil bahan
makanan dana tanaman jarak untuk pelumas[2].
Dikeluarkannya
Osamu Seirei No. 30/1944,SKK sebagai
pemegang monopoli penjualan dan pembelian hasil perkebunan telah dibubarkan.
Kedudukan SKK digantikan oleh Kigyo
Saibaien (Penguasa Perkebunan). Peran Kigyo
Saibaien hanya terbatas pada penguasaan kebun yang ditunjuk oleh Gunseikan[3].
Hasil
perkebunan yang lainnya yaitu gula. Industri gula yang sebagian besar telah
dibumihanguskan oleh Belanda direhabilitasi dengan modal swasta Jepang. Namun
hanya berhasil merehabilitasi 13 pabrik dari 85 pabrik di Jawa. Badan pengawas
industri gula yang di bentuk pemerintah Jepang bernama Togyo Rengokai (Persatuan Perusahaan Gula).
Hasil
produksi gula di Jawa dianggap telah mencukupi kebutuhan perang dan kebutuhan
penduduk. Kemudian diperkenankan untuk menghasilkan surplus ekspor ke negeri
Jepang dan Taiwan. Dikarenakan hasil produksi gula yang besar, Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No. 31/1944 yang menyatakan
bahwa rakyat dilarang menanam tebu dan memproduksi gula[4].
Semua koperasi peninggalan
Belanda di Bubarkan. Sebagai gantinya, didirikan badan yang bernama “kumiai” di
setiap desa dan rukun tetangga, serta setiap penduduk diharuskan menjadi
anggota. Kumiai bertujuan mengumpulkan hasil bumi guna menunjang logistik
penyediaan bahan makanan bagi tentara Jepang dalam menghadapi perang melawan
pasukan sekutu. Sedangkan didaerah perkotaan, kumiai menjadi badan pembagi
jatah barang-barang konsumsi keperluan sehari-hari. Dilihat dari cara
keanggotaannya, kumiai belum bisa disebut sebagai koperasi. Tetapi dengan
adanya Kumiai, masyarakat mendapat pengalaman yang sagat berharga, yaitu
tumbuhnya jenis koperasi distribusi. (Abdullah, B. 2006: 167).
Kondisi Rakyat Indonesia Masa Penjajahan Jepang
Tahun 1940 untuk mendirikan “kemakmuran
Bersama Asia Raya” telah di kampanyekan. Sehingga Jepang menjadi pusat sebagai
suatu lingkungan seperti Masyuria, Daratan Cina, Philipina, Malaysia,
Indocina,dan Asia atau Rusia. Jepang akan menjadi pusat industri presensi. Mansyuri
sebagai Industri berat dan Industri Kimia. Cina sebagai industri ringan
dan tekstil. Daerah-daerah lainnya tetap menjadi sumber bahan mentah untuk
mensuplay daerah industri tersebut, perkembangan ekonomi dan industri Jepang
tampak seolah-olah memerlukan perluasan wilayah. Oleh karena itu Jepang
memperluas wilayah kekuasaan sampai ke Indonesia.
Jepang telah menyiapkan berbagai kebijakan
untuk diaplikasikan di Indonesia.Salah satunya tertuang dalam Osamu Seirei No. 1 yang menetapkan
sebagai berikut.
“Bala
tentara Jepang berkehendak memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang sebangsa dan
seturunan dengan bangsa Jepang dan juga hendak mendirikan ketentraman yang
teguh untuk hidup makmur bersama-sama, maka dari itu bala tentara Jepang
melangsungkan pemerintahan Militer untuk sementara waktu di daerah-daerah yang
ditempatinya, agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera”
(Panyarikan, 1993:6).
Merujuk dari kebijakan yang dinyatakan oleh Osamu Seirei menimbulkan suatu doktrin
bahwa dengan datangnya Jepang ke Indonesia maka sistem ekonomi dan pemerintahan
di Indonesia menjadi lebih baik. Namun ternyata hal ini sangat bertolak
belakang dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia pada masa pendudukan Jepang.Rakyat
Indonesia mengalami kemiskinan yang lebih berat jika dibanding dengan masa
Belanda.
Pendudukan Jepang atas Indonesia memiliki
nilai yang sangat strategis sebagai upaya menghadapi sekutu dalam perang
pasifik, maka dari itu semua kebijakan di Indonesia diambil alih oleh bangsa
Jepang. Adapun prinsip dari kebijakan Jepang tersebut adalah mencari dukungan
masyarakat, memanfaatkan struktur pemerintahan yang telah ada, dan mengusahakan
agar daerah yang diduduki dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun ketiga
prinsip tersebut masih saja menjadi tujuan kedua Jepang menduduki Indonesia.Tujuan
utama Jepang menduduki Indonesia adalah untuk mendapatkan bahan baku guna
memenuhi kebutuhan perang. Peraturan-peraturan baru yang mengendalikan dan
mengatur kembali hasil-hasil utama Indonesia serta putusnya hubungan dengan
pasar ekspor tradisional, secara bersama-sama menimbulkan kekacauan dan
penderitaan yang menjadikan tahun-tahun terburuk (Ricklefs, 2008: 424). Sasaran
utama eksploitasi Jepang yaitu sumber bahan baku, hasil-hasil pertanian dan
tenaga kerja. Pedesaan Jawa dengan kualitas tanahnya yang subur serta
penduduknya yang banyak dianggap mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa.
Oleh karena itu Jepang berusaha mengeksploitasinya dengan seefisien mungkin
melalui kontrol secara intensif atas pulai ini (Ibrahim, 2004:60).
Jawa menjadi pusat eksploitasi oleh Jepang
sebab Jawa merupakan penghasil padi dan pemasok padi untuk pulau-pulau lainnya
diluar Jawa. Padi merupakan hal yang penting bagi pendudukan Jepang sebab para
serdadu, pejabat tinggi dan orang-orang sipil berkebangsan Jepang membutuhkan
padi untuk konsumsi makanan selama mereka menduduki Indonesia khususnya di
Jawa. Padi sebagai hal yang finansial serta penting sekali maka dalam
pengorganisasiannya diatur penuh oleh bangsa Jepang, agar tanaman padi
mencukupi kebutuhan yang diperlukan bangsa Jepang saat itu. Untuk memenuhi kebutuhan padi, Jepang
tidak segan-segan melakukan penekanan dan kekerasan, dimana tindakan tersebut
juga diikuti dengan saksi dan hukuman bagi orang yang berani melanggar
peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Jepang (Aiko, 1993:3).
Orang Jepang membutuhkan padi pertahunnya
mencapai 1 sampai 2 juta ton padi atau 38 % dari produksi padi di Jawa.Kebutuhan
padi yang semakin besar tersebut membuat Jepang melakukan eksploitasi
besar-besaran terhadap kaum petani padi. Eksploitasi berupa penyerahan hasil
padi atau tanaman makanan lainnya kepada Jepang.Peraturan tersebut sebenarnya
telah direncanakan pada bulan Agustus 1942 namun baru bisa direalisasikan April
1943dikarenakan diperlukan adanya perbaikan-perbaikan. Peraturan tersebut juga
didukung oleh beberapa kebijaksanaan lainnya seperti penetapan kuota padi,
penetapan harga gabah dan beras serta dibentuknya badan pengelola pangan atau Shokuryo Kanri Zimusyo yang kemudian
berubah menjadi Zyuuyoo Bussi Kodan.
Peraturan ini berbunyi petani yang panen padi dalam setahun dua kali harus
menyimpan padi sebanyak 50 kg, dipotong bibit yang sebesar-besarnya 75 kg/Ha
kemudian sisanya harus diserkan kepada Jepang.
Dalam menjalankan peraturannya,Shokuryoo Kanri Zimusyo dibantu oleh
pejabat lokal seperti Kencho
(Bupati), Guncho, Soncho (camat), dan Kuncho (kepala desa). Para pejabat loka tersebut bertugas untuk
mengumpulkan padi dari petani kepihak gudang Jepang yang disebut Petuton.
Seringkali didalam prakteknya para Kuncho ini memaksa para petani menyerahkan
hasil panen nya untuk mengejar target dari Petuton, bahkan memaksa menyerahkan
seluruh hasil panen (Ibrahim, 2004: 62). Proses pengumpulan padi yang dilakukan
oleh lembaga daerah buatan Jepang telah dilaksankan secara intensif.Bahkan nasib
dan kesejahteraan kaum petani padi tidak diperhatikan. Tujuan Jepang hanya
mengekspor padi secara besar-besaran untuk kepentingan bangsa Jepang sendiri.
Padi yang terkumpul diserahkan para penguasa
lokal kepada Zyuuyoo Bussi Kodan dan Kooti Soomutyookan.Kemudian Zyuuyoomembeli padi tersebut dengan
harga yang relatif rendah serta dibayar dengan menggunakan uang kertas buatan
Jepang. Proses pengumpulan padi yang dilakukan dengan cara memaksa telah
menimbulkan kesengsaran bagi kaum petani. Selain padi dirampas secara paksa dan
dibeli dengan harga yang sangat murah ditambah lagi korupsi oleh para penguasa
lokal terhadap harga padi tersebut menyebabkan kekurangan pangan bagi kaum
petani di Indonesia. Karena kekurangan padi para petani mulai mengkonsumsi
makanan palawija seperti jagung, gaplek, kedelai, dan kacang tanah.Namun hal tersebut
tidak menimbulkan kepuasan bagi kaum petani sebab pemerintahan Jepang juga
memaksa kaum petani menyerahkan hasil palawijanya. Hasil palawija ini
dimanfaatkan Jepang untuk menutupi kekurangan persediaan padi dan makanan para pekerja
romusha.
Pengumpulan padi dan palawija oleh
pemerintah Jepang telah menimbulkan melemahnya produksi bahan pangan bagi
masyarakat Indonesia.Persediaan bahan pokok di seluruh Jawa dan Madura
mengalami penurunan dan terjadi kelaparan dimana-mana.
Produksi tanaman secara intensifyang
dilakukan Jepang tidak menghasilkan peningkatan pada bahan makanan pokok
terutama padi. Namun mengakibatkan terjadinya kelangkaan bahan pokok untuk
masyarakat Indonesia. Beberapa laporan menyebutkan bahwa penurunan bahan pokok
tidak hanya terpaku dari satu faktor penyebab yakni adanya intensifikasi Jepang
melainkan juga karena pengaruh Iklim, kelangkaan sapi serta adanya hama tikus.
Penurunan bahan makanan serta hasil palawija kepada pemerintahan Jepang
menyebabkan meningkatnya angka kematian yang dialami hampir seluruh bangsa
Indonesia. (William, 1989: 132)
Kebijakan penyerahan wajib padi dan bahan
makanan pokok lainnya sangat memberatkan bangsa Indonesia.Karena hal tersebut,
bangsa Indonesia menglami kelaparan dan munculnya angka kematian yang tinggi.
Beban tersebut diperparah dengan adanya kebijakanbaru Jepang, yakni mewajibkan
tanaman jarak serta tanaman perkebunan lainnya seperti karet, gula dan kina.
Tanaman perkebunan ini bertujuan untuk membantu kelancaran Jepang dalam perang
Pasifik. Beberapa tanah yang dulunya hanya ditanami kopi, teh dan tembakau kini
harus diganti dengan tanaman yang lebih berguna untuk kebutuhan perang Jepang
yakni jarak (bijinya dapat digunakan bahan bakar pesawat terbang, penghalus
kulit, pembersih perut, dan obat sabu), rosella (yang berguna untuk pakaian).
Seiring dengan pentingnya tanaman jarak maka
Senda Shokai sebagai badan yang
bertanggung jawab terhadap tanaman jarak mulai mengeluarkan selebaran yang
berisi anjuran untuk menanam Jarak. Tanaman Jara dianjurkan ditanam didaerah
yang cocok serta diperkebunan Tioghoa hal ini bertujuan agar jumlah tanaman
jarak akan memenuhi kuato yang diperlukan. Imbalan bagi penduduk yang menanam
jarak adalah Minyak Tanah sebab Jepang mengantisipasi agar penduduk tidak
menggunkan jarak untuk bahan bakar penerangan rumahnya. Sebagaimana dengan
Intensif pada tanaman padi dan bahan makanan lainnya maka tanaman jarak ini
juga menuai kecurangan dalam praktiknya (Ibrahim. 2004:71).
Pemerintahan Jepang selain mewajibkan
tanaman padi, palawija serta jarak, juga mewajibkan penduduk Indonesia untuk
menanam kapas. Adapun pengelolaan kapas dan serat rami juga tidak jauh berbeda
dengan sistem intensif padi dan palawija. Sistemnya banyak menuai kecurangan
dan korupsi yang semakin memperparah perekonomian rakyat Indonesia. Badan
Jepang yang mengurusi masalah penanaman kapas dan serat jerami adalah Menka Seiba Kyokay serta dikekola oleh
perusahan Jepang Tozan Noji. Adanya
sistem distribusi yang menuai banyak kecurangan baik dari pemerintahan Jepang
sendiri dan para penguasa lokal, menyebabkan banyak penduduk Indonesia
kekurangan pakaian, kondisi ini diperburuk dengan langkanya jumlah kain yang
ada di pasaran sebab bahan kain juga dikirim ke medan perang.
Hal semacam ini membuat penduduk menggunakan
pakain dari bahan seadanya seperti karung goni yang biasanya untuk menyimpan
padi dan beras kini beralih fungsi mencana celana serta pakaian meski pada kenyataan
karung tersebut banyak mengandung kutu, hal tersebut tidaklah diperdebatkan
oleh penduduk. Dari hari kehari pun karung Goni yang ada di pasaran juga
semakin langka, meskipun Jepang telah melakukan kebijakan untuk mengatasi
kurangnya kain ini namun tetap saja jumlah kain yang dibutuhkan masih kurang
efeknya banyak penduduk yang terpaksa telanjang atau menggunakan serabut pohon
untuk menutupi badannya.
Dalam buku (Sudarmanto, J., B. 2007: 51) di gambarkan bagaimana kekejaman
romusa di tapanuli, “salah satu lahan kerja romusa itu berada di daerah
tapanuli untuk membangun sebuah benteng pertahanan di teluk sibolga. Dokter
tobing ditugasi sebagai pengawas kesehatan para romusa. Keadaan romusa pada
waktu itu sangat menyedihkan. Berkedok pada slogan “membangun Asia Timur Raya”,
mereka harus bekerja keras dengan jatah makanan dan penginapan yang sangat
buruk. Sebagian besar romusa tidak dapat kembal ketanah kelahirannya karena
mati atau terserang penyakit.
Pemaksaan sistem tanaman padi serta bahan
makan lainnya telah membuat bangsa Indoensia menderita yang berkepanjangan hal
ini ditambah dengan adanya sistem kerja paksa Romusha, dimana orang Jawa
menjadi prioritas utama karena bagi Jepang di Jawa sudah padat penduduknya. Kaum
pribumi yang menjadi romusha oleh Jepang tidak pernah diperhatikan
kesehatannya, banyak romusha yang mati karena kelaparan dan terserang penyakit.
Tenaga romusha yang dikirim Jepang tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan
makanan yang dimiliki. Rakyat telah mengalami banyak kesusahan atas eksploitasi
besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang. Kemiskinan terjadi dimana-mana,
keterlangkaan akan pakaian serta tingkat kematian meningkat tajam.
Jepang tidak dapat menampung semua hasil
ekspor Indonesia, dan kapal-kapal selam Sekutu segera menimbulkan begitu banyak
kerugian terhadap pelayaran Jepang sehingga komoditas-komoditas yang diperlukan
Jepang pun tidak dapat dikapalkan dalam jumlah yang memadai. Pada tahun 1943,
produksi karet sekitar seperlima dari tingkat produksi tahun 1941 (di Jawa dan
Kalimantan Barat, produksi karet hampir terhenti sama sekali), dan produksi teh
sekitar sepertiganya. Jepang dan Formosa (Taiwan) akan menjadi pemasok utama
gula untuk Kawasan Bersama Asia Timur Raya, sehingga komoditas yang merupakan
sumber pokok pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini (terutama bagi para
buruh upahan yang tidak memiliki tanah) akan menurun. Pihak Jepang mulai
mengambil alih perkebunan-perkebunan tebu pada bulan Agustus 1943, dan baru
setelah itulah pengelola-penelolanya yang berkebangsaan Eropa ditawan. Demikian
pula perkebunan tembakau yang luas di Sumatera Timur diubah untuk produksi
pangan (Ricklefs, 2008: 425)
Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem
pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut:
1)
Kegiatan ekonomi diarahkan
untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah
digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Harta milik musuh yang
disita oleh Jepang anatara lain perkebunan-perkebunan, bank-bank,
pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan vital seperti: pertambangan, listrik,
telekomunikasi, dan perusahaan transpor (Poesponegoro, 1984: 41). Banyak lahan
pertanian yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada
ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan
menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.
2)
Jepang menerapkan sistem
pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat.
Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan
barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan
perkebunan teh, kopi, karet, tebu dan sekaligus memonopoli penjualannya.
Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan
kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula, pemaksaan menanam pohon jarak dan
kapas pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah. Khusus mengenai
perkebunan dikeluarkan undang-undang No. 22/1942. Dalam undang-undang itu
dinyatakan, bahwa Gunseikan (kepala pemerintah militer) langsung
mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, dan teh (Poesponegoro, 1984:
42).
3)
Menerapkan sistem ekonomi
perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang
kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan
dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat
baik fisik maupun material.
4)
Pada tahun 1944, kondisi
politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan
bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang
mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran
melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi
resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan
bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak
pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja
menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di
setiap desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7%
dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%. Bisa Anda
bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia pada
masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti keladi gatal,
bekicot, umbi-umbian).
5)
Sulitnya pemenuhan kebutuhan
pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan
penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping,
ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat
kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet
sebagai penutup.
Demikian bentuk praktek-praktek eksploitasi
ekonomi masa pendudukan Jepang, yang telah begitu banyak menghancurkan sumber
daya alam, menimbulkan krisis ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan
tingginya tingkat kematian seperti yang terjadi juga pada bidang sosial di
bawah ini, khususnya pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam
bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk
kepentingan perang.
Luasnya daerah pendudukan Jepang,
menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk
membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara
darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan
semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui
suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha. Romusha ini dikoordinir
melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan
sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga
diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak
tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi
kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang
mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir
dengan kematian dari ± 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai,
Vietnam, Malaya dan Serawak.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdullah, B. 2006. Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan Esai
Tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Aiko, Kurasawa. 1993. Mobilisasi
dan Kontrol: Study Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.
Jakarta: Gramedia.
Daulay, P Haidar. 2007. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Medan: Kencana
Prenada Media Group.
Ibrahim, Julianto. 2004. Bandit
dan Pejuang di Simpang Bengawan (Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di
Surakarta). Jawa Tengah: Bina Citra Pustaka.
Panyarikan, Ketut Sudiri. 1993. Sejarah
Indonesia Baru dari Pergerakan Nasional sampai Dekrit Presiden. Djakarta.
Poesponegoro, dkk. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Depdikbud.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia VI edisi (pemutakhiran). Jakarta: Balai
Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1981. Sejarah
Indonesia Modern 1200- 2008. Terjemahan oleh Tim Penerjemah Serambi. 2008.
Jakarta: Serambi ilmu Semesta.
Soesastro,
H. 2005. Pemikiran dan permasalahan ekonomi
di Indonesia dalam setengah abad terakhir: 1966-1982 paruh pertama ekonomi Orde
Baru.
Yogyakarta: Kanisius.
Sudarmanto,
J., B. 2007. Jejak-jejak
pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
William H. Frederick. 1989. Pandangan
dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya
1926-1948). Jakarta: Gramedia.
[1] Larangan tersebut
berkaitan dengan kepentingan perang karena tidak semua perkebunan dinilai
sebagai penunjang perang. Hanya beberapa jenis perkebunan yang mendapat
perhatian dari pemerintah Jepang, yaitu karet dan kina.
[2] Di Pulau Jawa dilakukan
dengan menebang pohon-pohon kopi, sedangkan di Pulau Sumatera diusahakan
menanam padi di lahan bekas perkebunan tembakau.
[3] Terutama kina dan karet
yang dianggap sebagai bahan-bahan untuk memenuhi keperluan perang.
[4] Adanya larangan
tersebut dikarenakan untuk mengurangi jumlah gula yang beredar di masyarakat
dan untuk menekan hasil produksi. Cara lain untuk menekan produksi gula yaitu
mengubah pabrik-pabrik gula menjadi pabrik senjata atau memindahkannya ke
tempat lain untuk kepentingan perang.
Tidak ada komentar: